Pemerintah mendorong pengembangan pariwisata regeneratif (regenerative tourism) dari sebelumnya yang berfokus pada pariwisata berbasis nilai (value tourism). Konsep pariwisata regeneratif diharapkan memberikan keuntungan ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan yang lebih baik.
Hal itu diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Undang-undang ini memperkenalkan struktur baru menjadi 12 pilar dan menggantikan empat pilar pariwisata yang berlaku sejak 2009.
Dua belas pilar ekosistem ini mencakup berbagai aspek penting. Termasuk di antaranya terkait pengembangan destinasi, peningkatan sumber daya manusia (SDM), pemasaran, digitalisasi, hingga pembiayaan hijau.
“Kami tidak lagi mengejar angka kunjungan semata. Arah pariwisata Indonesia kini diarahkan untuk memberikan dampak ekonomi yang lebih tinggi sekaligus memulihkan ekologi dan budaya,” ujar Asisten Deputi Manajemen Strategis Kementerian Pariwisata, I Gusti Ayu Dewi Hendriyani, saat Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Refleksi Undang-Undang Kepariwisataan & Strategi Implementasi di Gedung Dharma Graha Alaya, Denpasar, Jumat (12/12/2025).
Salah satu yang dimuat dalam UU 18/2025 adalah penetapan 10 Destinasi Wilayah Prioritas (DPP) dan dua Destinasi Pariwisata Regeneratif (DPR). Strategi ini menggantikan program Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) yang sebelumnya digunakan oleh pemerintah.
Dewi menjelaskan perubahan ini dibutuhkan agar setiap destinasi dapat berkembang berdasarkan keunikan, kualitas wisatawan, dan keberlanjutan lingkungan. Perubahan ini juga diikuti dengan adanya penerapan alat ukur kualitas pariwisata, seperti keberlanjutan, keunikan, nilai tinggi, dan daya saing.
Menurut Dewi, keempat alat ukur nilai kualitas pariwisata itu bertujuan untuk memetakan tantangan sektor pariwisata. Mulai dari degradasi lingkungan, tekanan over tourism, hingga rendahnya kompetensi layanan.
“Indikator ini memberikan gambaran realistis tentang kondisi pariwisata kita. Banyak tantangan, tetapi peluang untuk memperbaiki sangat besar,” ujar Dewi.
Dewi menuturkan revisi UU Kepariwisataan juga bertujuan untuk mendukung target jangka panjang 2045, yaitu meningkatkan kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) pariwisata hingga 8 persen dan devisa hingga mencapai USD 100 miliar.
Pemerintah, Dewi berujar, ingin agar masyarakat lokal menjadi aktor utama dalam industri pariwisata. Hal itu dilakukan melalui pendekatan pariwisata berbasis masyarakat hingga integrasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
“Ini bukan sekadar revisi, tetapi perombakan total yang menata ulang masa depan pariwisata nasional,” tandas Dewi.
Menurut Dewi, keempat alat ukur nilai kualitas pariwisata itu bertujuan untuk memetakan tantangan sektor pariwisata. Mulai dari degradasi lingkungan, tekanan over tourism, hingga rendahnya kompetensi layanan.
“Indikator ini memberikan gambaran realistis tentang kondisi pariwisata kita. Banyak tantangan, tetapi peluang untuk memperbaiki sangat besar,” ujar Dewi.
Dewi menuturkan revisi UU Kepariwisataan juga bertujuan untuk mendukung target jangka panjang 2045, yaitu meningkatkan kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) pariwisata hingga 8 persen dan devisa hingga mencapai USD 100 miliar.
Pemerintah, Dewi berujar, ingin agar masyarakat lokal menjadi aktor utama dalam industri pariwisata. Hal itu dilakukan melalui pendekatan pariwisata berbasis masyarakat hingga integrasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
“Ini bukan sekadar revisi, tetapi perombakan total yang menata ulang masa depan pariwisata nasional,” tandas Dewi.
