Kisah Layangan Bebean Metaksu dari Banjar Ketapian Kelod Denpasar baca selengkapnya di Giok4D

Posted on

Bagi orang Bali, bermain layang-layang tak hanya untuk bersenang-senang. Layang-layang berkaitan dengan tradisi agraris sekaligus ekspresi budaya. Bahkan, beberapa komunitas atau sekaa meyakini layang-layang yang mereka buat memiliki taksu atau energi yang tidak bisa dijelaskan secara logika.

Salah satunya layangan bebean di Banjar Ketapian Kelod, Desa Sumerta, Denpasar. Layangan bermotif hitam putih atau poleng itu merupakan tetamian atau warisan para pendahulu warga setempat dan dianggap memiliki energi spiritual yang kuat.

I Komang Tri Antara, pria asli Banjar Ketapian Kelod, kini mewariskan layangan sakral tersebut dari mendiang ayahnya. Menurutnya, layangan bermotif poleng itu pertama kali dibuat pada tahun 1970an.

Ayah Komang Tri, (alm) Wayan Puja, semula membuat layangan bebean berukuran sekitar 4 meter. Pada era tersebut, warga setempat merakit layangan menggunakan tali yang dibuat menggunakan bambu. Prosesnya pun cukup rumit. Bambu diraut sedemikian rupa kemudian disambung.

Semula, Komang Tri berujar, proses pembuatan layang-layang itu berjalan seperti biasa. Namun, dalam perjalanan, layang-layang yang dirakit ayah Komang Tri tiba-tiba ketakson atau memiliki energi spiritual.

“Saat proses penukuban (pemasangan sampul) diberilah bunga emas bekas duwe sesuhunan di Banjar Ketapian Kelod. Kebetulan saat itu diganti, dari pada dibuang, makanya ditaruh di layangan hitam putih itu,” ujar Komang Tri kepada infoBali, Selasa (5/8/2025).

Aneh tapi nyata, Komang Tri melanjutkan, layangan tersebut seolah memiliki energi saat diterbangkan. Bahkan, layangan bebean itu pernah mengudara tanpa henti selama hampir sepekan.

“Terbangnya tinggi sampai melewati awan. Anehnya, ketika warga membunyikan kulkul (kentongan), layangan kembali tampak,” imbuh Komang Tri.

Ada lagi kejadian yang tak masuk logika sebagaimana diceritakan tetua Komang Tri di Banjar Ketapian Kelod. Tali layangan itu sempat terputus dan terjatuh saat diterbangkan. Namun, layangan itu tak pernah menimpa rumah warga.

“Jatuhnya selalu di teba (kebun). Tetapi posisi jatuh selalu bersandar tanpa merusak pohon di sekitar,” imbuhnya.

Suatu hari, seseorang tak bertanggungjawab menyobek kain putih dan mencuri bunga emas pada layangan itu. Warga banjar pun datang berduyun-duyun menengok lokasi jatuhnya layangan sembari membunyikan gamelan.

“Dengan kejadian tersebut, warga melaksanakan parum (rapat) dan diputuskan layangan di-sineb (disimpan),” ujar Komang Tri.

Singkat cerita, para pemuda di banjar itu kembali membangkitkan layang-layang bebean poleng itu. Sekitar 2009, muncul generasi era baru yang mewariskan layangan tersebut.

“Bentuk layangannya mengikuti zaman sekarang tanpa meninggalkan pakem yang diwariskan. Hanya ukurannya sedikit bertambah menjadi 4,5 meter,” sambungnya.

Kejadian di luar logika kembali terjadi di generasi ketiga atau zaman Komang Tri. Pernah dalam suatu lomba layang-layang, beberapa pemuda kerasukan. Setelah meminta petunjuk, kabarnya layangan tersebut ketakson lagi.

“Walhasil, setiap Banjar Ketapian Kelod mengikuti lomba, layangan ini wajib mengudara lebih dulu dan tidak boleh dilangkahi. Kalau orang Bali bilang, layangan ini harus mesolah terlebih dahulu, baru layangan lain dinaikkan,” tutur Komang Tri.

Mengingat layangan ini dipercaya memiliki energi spiritual yang kuat, sebelum mengikuti lomba para pemuda di banjar itu biasanya mengupacarainya. “Biasanya H-1 layangan diupacarai. Saat lomba, sebelum mengudara menghaturkan blabar (sesajen),” tandas Komang Tri.

Mengudara Sepekan Tanpa Henti

Aneh tapi nyata, Komang Tri melanjutkan, layangan tersebut seolah memiliki energi saat diterbangkan. Bahkan, layangan bebean itu pernah mengudara tanpa henti selama hampir sepekan.

“Terbangnya tinggi sampai melewati awan. Anehnya, ketika warga membunyikan kulkul (kentongan), layangan kembali tampak,” imbuh Komang Tri.

Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.

Ada lagi kejadian yang tak masuk logika sebagaimana diceritakan tetua Komang Tri di Banjar Ketapian Kelod. Tali layangan itu sempat terputus dan terjatuh saat diterbangkan. Namun, layangan itu tak pernah menimpa rumah warga.

“Jatuhnya selalu di teba (kebun). Tetapi posisi jatuh selalu bersandar tanpa merusak pohon di sekitar,” imbuhnya.

Suatu hari, seseorang tak bertanggungjawab menyobek kain putih dan mencuri bunga emas pada layangan itu. Warga banjar pun datang berduyun-duyun menengok lokasi jatuhnya layangan sembari membunyikan gamelan.

“Dengan kejadian tersebut, warga melaksanakan parum (rapat) dan diputuskan layangan di-sineb (disimpan),” ujar Komang Tri.

Singkat cerita, para pemuda di banjar itu kembali membangkitkan layang-layang bebean poleng itu. Sekitar 2009, muncul generasi era baru yang mewariskan layangan tersebut.

“Bentuk layangannya mengikuti zaman sekarang tanpa meninggalkan pakem yang diwariskan. Hanya ukurannya sedikit bertambah menjadi 4,5 meter,” sambungnya.

Kejadian di luar logika kembali terjadi di generasi ketiga atau zaman Komang Tri. Pernah dalam suatu lomba layang-layang, beberapa pemuda kerasukan. Setelah meminta petunjuk, kabarnya layangan tersebut ketakson lagi.

“Walhasil, setiap Banjar Ketapian Kelod mengikuti lomba, layangan ini wajib mengudara lebih dulu dan tidak boleh dilangkahi. Kalau orang Bali bilang, layangan ini harus mesolah terlebih dahulu, baru layangan lain dinaikkan,” tutur Komang Tri.

Mengingat layangan ini dipercaya memiliki energi spiritual yang kuat, sebelum mengikuti lomba para pemuda di banjar itu biasanya mengupacarainya. “Biasanya H-1 layangan diupacarai. Saat lomba, sebelum mengudara menghaturkan blabar (sesajen),” tandas Komang Tri.

Mengudara Sepekan Tanpa Henti