Bertaruh Nyawa Anak-anak di Lombok Timur Seberangi Muara Demi Sekolah

Posted on

Rabu (5/11/2025) siang, puluhan anak-anak sepulang sekolah berdiri di tepi muara menunggu perahu kecil untuk menyeberang ke seberang. Beberapa di antara mereka mulai melepas pakaian bersiap berebutan menaiki perahu kecil yang hanya berukuran kurang lebih empat meter.

Sebagian duduk berdesakan, sebagian lagi berdiri karena tak kebagian tempat. Suara canda dan tawa mereka terdengar jelas di antara sayup-sayup angin laut dari seberang sepadan muara yang berjarak sekitar 100 meter lebih.

Pemandangan tersebut selalu terlihat setiap pagi dan siang hari di Penyonggo, Desa Seriwe, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Tak adanya jembatan penghubung membuat anak-anak dari Penyonggok harus menyeberangi muara setiap hari agar bisa ke sekolah.

Sebab, jika lewat jalur darat, mereka harus memutar sejauh lima kilometer melewati beberapa desa. Sehingga mereka lebih memilih menggunakan perahu demi bersekolah.

“Setiap hari kalau mau ke sekolah, lewat sini (muara). Kalau dari darat jauh harus muter lagi,” kata Aldo, salah satu siswa kelas 5 SD, Rabu (5/11/2025).

Namun, tak jarang perahu yang biasa digunakan tidak tersedia karena dipakai warga lain untuk memancing. Dalam kondisi itu, Aldo dan teman-temannya memilih berenang saat air surut pada pagi hari.

“Terkadang sampan tidak ada dipakai pergi mancing, jadi kami langsung berenang, sangat seru bisa balap-balapan renang,” tutur Aldo dengan wajah polosnya.

Terkadang jika perahu tak ada, Aldo dan teman-temannya memilih menunggu air surut di tepi muara. Para orang tua biasanya menjemput anak-anak mereka lalu digendong menyeberangi muara.

“Kalau sampan tidak ada kami dijemput orang tua dan digendong untuk menyeberang,” ucap Aldo.

Tak jarang kondisi tersebut membuat anak-anak dari Penyonggo tidak masuk sekolah karena perahu tidak ada dan air muara pasang. Jika dipaksakan, akan membahayakan para siswa.

“Sudah sering tidak masuk sekolah karena perahu yang biasa kami pakai menyeberang digunakan pergi mancing, apalagi ketika air sedang pasang. Dari pada bahaya kami di sini lebih memilih tidak masuk sekolah,” ujar EraFazira yang kini duduk dibangku kelas VIII SMP.

Fazira mengaku kondisi tersebut membuatnya sedih ketika harus meninggalkan pelajaran di sekolahnya hanya karena keterbatasan akses jembatan. Ia berharap pemerintah bisa membangunkan jembatan sehingga tidak ada lagi absen sekolah.

“Harapannya sih ada jembatan, supaya tidak pakai perahu lagi, tidak berenang lagi,” kata Fazira.

Biaya Perahu Gratis

Saat ini ada lebih dari 30 anak usia sekolah di Penyonggok yang bergantung pada satu perahu kecil untuk menyeberangi muara. Relawan operator perahu, Iwan, menyeberangkan mereka tanpa memungut biaya sepeser pun.

“Kalau tidak muat, ya bolak balik kadang. Kebetulan hari ini mereka hanya sedikit yang masuk sekolah jadinya hanya tiga kali bolak balik,” ucap Iwan.

Ia menggratiskan perahunya karena dahulu ia juga bernasib sama, harus menyeberangi muara dengan berenang untuk pergi ke sekolah.

“Saya juga dulu waktu sekolah begini, makanya sekarang ini saya ikut bantu adik-adik kami di sini meskipun menyeberangkan hanya menggunakan perahu,” tutur Iwan.

Tak hanya anak-anak sekolah, warga Penyonggo juga ikut terdampak. Mereka tidak bisa pergi ke masjid dan fasilitas lainnya saat tidak ada perahu.

“Sering juga kami di sini tidak Jumatan, karena perahu tidak ada untuk nyeberang,” cetus Iwan.

Sempat Bangun Jembatan Bambu, tapi Roboh

Iwan menuturkan pemerintah desa setempat pernah membuat jembatan bambu. Namun jembatan itu roboh diterjang angin beberapa bulan lalu.

“Pernah dibangun jembatan, akan tetapi pas angin badai beberapa bulan yang lalu jembatannya roboh. Itu hanya tinggal tiangnya saja yang tersisa,” terang Iwan sembari menunjukkan sisa-sisa bambu yang digunakan sebagai tiang jembatan.

Ketua Rukun Tetangga (RT) di Penyonggo, Rauhin, menjelaskan warga juga kesulitan menyeberang untuk mengantar jenazah ke pemakaman di seberang. “Seperti kejadian kemarin, sempat viral kan, itu warga kami di sini, harus menggunakan perahu, karena jembatan yang tidak ada,” kata Rauhin.

Rauhin berharap pemerintah membangun kembali jembatan penghubung agar warga tak lagi terisolasi oleh muara. “Kami hanya butuh jembatan ini, itu saja yang kami harapkan dari pemerintah,” harap Rauhin.


Biaya Perahu Gratis

Saat ini ada lebih dari 30 anak usia sekolah di Penyonggok yang bergantung pada satu perahu kecil untuk menyeberangi muara. Relawan operator perahu, Iwan, menyeberangkan mereka tanpa memungut biaya sepeser pun.

“Kalau tidak muat, ya bolak balik kadang. Kebetulan hari ini mereka hanya sedikit yang masuk sekolah jadinya hanya tiga kali bolak balik,” ucap Iwan.

Ia menggratiskan perahunya karena dahulu ia juga bernasib sama, harus menyeberangi muara dengan berenang untuk pergi ke sekolah.

“Saya juga dulu waktu sekolah begini, makanya sekarang ini saya ikut bantu adik-adik kami di sini meskipun menyeberangkan hanya menggunakan perahu,” tutur Iwan.

Tak hanya anak-anak sekolah, warga Penyonggo juga ikut terdampak. Mereka tidak bisa pergi ke masjid dan fasilitas lainnya saat tidak ada perahu.

“Sering juga kami di sini tidak Jumatan, karena perahu tidak ada untuk nyeberang,” cetus Iwan.

Sempat Bangun Jembatan Bambu, tapi Roboh

Iwan menuturkan pemerintah desa setempat pernah membuat jembatan bambu. Namun jembatan itu roboh diterjang angin beberapa bulan lalu.

“Pernah dibangun jembatan, akan tetapi pas angin badai beberapa bulan yang lalu jembatannya roboh. Itu hanya tinggal tiangnya saja yang tersisa,” terang Iwan sembari menunjukkan sisa-sisa bambu yang digunakan sebagai tiang jembatan.

Ketua Rukun Tetangga (RT) di Penyonggo, Rauhin, menjelaskan warga juga kesulitan menyeberang untuk mengantar jenazah ke pemakaman di seberang. “Seperti kejadian kemarin, sempat viral kan, itu warga kami di sini, harus menggunakan perahu, karena jembatan yang tidak ada,” kata Rauhin.

Rauhin berharap pemerintah membangun kembali jembatan penghubung agar warga tak lagi terisolasi oleh muara. “Kami hanya butuh jembatan ini, itu saja yang kami harapkan dari pemerintah,” harap Rauhin.