Uskup Labuan Bajo, Monsinyur (Mgr) Maksimus Regus, mengingatkan pariwisata Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), harus dikembangkan dengan konsep keberlanjutan. Ia menilai pariwisata akan berbahaya jika hanya berorientasi pada keuntungan sebesar-besarnya.
“Hasrat pada akumulasi profit akan menggiring keindahan pariwisata Labuan Bajo sekadar sebagai arena kerakusan dan ketamakan, dan hal itu sulit menyisakan manfaat yang besar bagi komunitas lokal,” tegas Mgr. Maksi dalam sambutannya pada pembukaan Festival Golo Koe Maria Assumpta Nusantara 2025 di Waterfront City Labuan Bajo, Minggu (10/8/2025) malam.
Menurutnya, pariwisata yang dikembangkan dengan pendekatan eksploitatif mengabaikan prinsip keberlanjutan. “Pendekatan kita terhadap keindahan Labuan Bajo perlu mendapatkan perhatian khusus dari kita semua,” ujarnya.
Ia menekankan aspek ekologis harus menjadi bagian dari mindset industri pariwisata di Labuan Bajo. “Profit oriented cenderung menggoda kita dalam menerapkan pendekatan eksploitatif, yang pasti melukai makna keberlanjutan dari keindahan pariwisata di daerah kita ini,” sambungnya.
Mgr. Maksi mengajak semua pihak melihat kembali bagaimana anugerah pariwisata di Labuan Bajo ditangani dengan pendekatan komprehensif berbasis keberlanjutan dan keselamatan komunitas lokal.
Adapun Festival Golo Koe digelar Keuskupan Labuan Bajo bersama Pemda Manggarai Barat. Tahun ini menjadi penyelenggaraan keempat sejak pertama kali digelar pada 2022, mengusung tema ‘Keuskupan Labuan Bajo: Merajut Kebangsaan dan Pariwisata Berkelanjutan yang Sinodal dan Inklusif’.
Mgr. Maksi menyebut festival ini sebagai narasi tandingan terhadap eksploitasi keindahan Labuan Bajo. “Keindahan Labuan Bajo adalah titipan dari generasi masa depan untuk dijaga dan dipakai seperlunya saja,” ujarnya.
Menurutnya, festival ini memadukan aspek religiusitas, kerohanian, kultural, ekonomi, hingga lintas iman, sehingga menjadi ruang perjumpaan dan persaudaraan sosial. “Festival Golo Koe ingin melihat keindahan pariwisata sebagai panggilan masa depan dengan misi sinodal yang mengandung solidaritas sekaligus inklusif,” jelasnya.
Puncak Festival Golo Koe 2025 berlangsung 10-15 Agustus di Waterfront City Labuan Bajo. Festival ini masuk 10 besar Karisma Event Nusantara (KEN) Kementerian Pariwisata.
Wakil Bupati Manggarai Barat Yulianus Weng menyebut festival religi ini bagian dari strategi pengembangan pariwisata berbasis budaya lokal. “Wisatawan tidak hanya datang melihat keindahan tapi juga merasakan denyut kehidupan masyarakat,” ujarnya.
Ia menegaskan pariwisata harus menjaga kelestarian alam, memberdayakan masyarakat lokal, dan menghormati kearifan budaya. Festival ini juga berdampak ekonomi bagi pelaku UMKM, pengrajin, petani, nelayan, dan seniman lokal.
Weng menilai festival ini lahir dari akar iman dan budaya lokal serta menjadi cermin toleransi di Manggarai Barat. “Dalam suasana festival ini, kita melihat umat dari berbagai agama, suku, dan latar belakang budaya dapat bergandengan tangan bekerja sama dan saling menghormati,” tuturnya.
Sejumlah kegiatan digelar selama festival, di antaranya pameran UMKM, karnaval budaya pada 12 Agustus, melibatkan komunitas dan lembaga dari Manggarai Barat dan Keuskupan Labuan Bajo, pentas seni dan budaya 10-13 Agustus pukul 19.00-22.00 Wita, berlanjut 15 Agustus seusai perayaan Ekaristi.
Kemudian ada prosesi akbar Maria Assumpta Nusantara pada 14 Agustus, mengarak patung Bunda Maria di laut Labuan Bajo dengan pinisi dan ketinting, serta misa Inkulturatif Maria Diangkat ke Surga pada 15 Agustus pukul 17.00 Wita, dipimpin Uskup Labuan Bajo.
Festival Golo Koe Angkat Isu Keberlanjutan
Wisata Berbasis Budaya Lokal
Rangkaian Acara Festival Golo Koe 2025
Adapun Festival Golo Koe digelar Keuskupan Labuan Bajo bersama Pemda Manggarai Barat. Tahun ini menjadi penyelenggaraan keempat sejak pertama kali digelar pada 2022, mengusung tema ‘Keuskupan Labuan Bajo: Merajut Kebangsaan dan Pariwisata Berkelanjutan yang Sinodal dan Inklusif’.
Mgr. Maksi menyebut festival ini sebagai narasi tandingan terhadap eksploitasi keindahan Labuan Bajo. “Keindahan Labuan Bajo adalah titipan dari generasi masa depan untuk dijaga dan dipakai seperlunya saja,” ujarnya.
Menurutnya, festival ini memadukan aspek religiusitas, kerohanian, kultural, ekonomi, hingga lintas iman, sehingga menjadi ruang perjumpaan dan persaudaraan sosial. “Festival Golo Koe ingin melihat keindahan pariwisata sebagai panggilan masa depan dengan misi sinodal yang mengandung solidaritas sekaligus inklusif,” jelasnya.
Puncak Festival Golo Koe 2025 berlangsung 10-15 Agustus di Waterfront City Labuan Bajo. Festival ini masuk 10 besar Karisma Event Nusantara (KEN) Kementerian Pariwisata.
Wakil Bupati Manggarai Barat Yulianus Weng menyebut festival religi ini bagian dari strategi pengembangan pariwisata berbasis budaya lokal. “Wisatawan tidak hanya datang melihat keindahan tapi juga merasakan denyut kehidupan masyarakat,” ujarnya.
Ia menegaskan pariwisata harus menjaga kelestarian alam, memberdayakan masyarakat lokal, dan menghormati kearifan budaya. Festival ini juga berdampak ekonomi bagi pelaku UMKM, pengrajin, petani, nelayan, dan seniman lokal.
Weng menilai festival ini lahir dari akar iman dan budaya lokal serta menjadi cermin toleransi di Manggarai Barat. “Dalam suasana festival ini, kita melihat umat dari berbagai agama, suku, dan latar belakang budaya dapat bergandengan tangan bekerja sama dan saling menghormati,” tuturnya.
Sejumlah kegiatan digelar selama festival, di antaranya pameran UMKM, karnaval budaya pada 12 Agustus, melibatkan komunitas dan lembaga dari Manggarai Barat dan Keuskupan Labuan Bajo, pentas seni dan budaya 10-13 Agustus pukul 19.00-22.00 Wita, berlanjut 15 Agustus seusai perayaan Ekaristi.
Kemudian ada prosesi akbar Maria Assumpta Nusantara pada 14 Agustus, mengarak patung Bunda Maria di laut Labuan Bajo dengan pinisi dan ketinting, serta misa Inkulturatif Maria Diangkat ke Surga pada 15 Agustus pukul 17.00 Wita, dipimpin Uskup Labuan Bajo.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.