Perempuan inisial TBM (19) diperbudak hingga disiksa dan kepala digunduli oleh istri pemilik Toko Angkasa, Kelurahan Kambaniru, Kecamatan Kambera, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Aktivis mengungkap korban perbudakan ternyata bukan hanya TBM, tetapi ada enam orang.
Mantan Ketua BPD Perhimpunan Perempuan Alumni Berpendidikan Teologi di Indonesia (Peruati) Sumba, Herlina Ratu Kenya, menuturkan enam orang itu terhitung sebagai anak dalam rumah. Istilah ‘anak dalam rumah’ ini merujuk pada hamba atau budak dalam sebutan masyarakat Sumba Timur. Mereka sejak kecil sudah diadopsi oleh pemilik Toko Angkasa.
Herlina mengungkapkan istri dari pemilik Toko Angkasa, yakni Rambu YG, merupakan turunan Sumba Timur dari kalangan Maramba atau bangsawan asal Kampung Nggongi, Kecamatan Karera, Sumba Timur. “Dan selama ini mereka bekerja di situ (Toko Angkasa). Namun, satu dari enam orang itu yang dituduh mencuri, padahal mereka hanya bekerja dan tinggal di situ,” tutur Herlina kepada infoBali, Rabu (17/12/2025).
Dalam kasus ini, relasi enam korban itu ada yang kakak beradik dan sepupu kandung, bahkan termasuk ibu kandung TBM. Sehingga ibu TBM merasa keberatan untuk kembali ke toko tersebut. “Alasannya, mereka akan terus diperhadapkan dengan kasus serupa yang lebih berat,” jelas Herlina.
TBM, ungkap Herlina, digunduli oleh kakak sepupunya yang juga menjadi korban perbudakan di Toko Angkasa. Kakak sepupu melakukan itu juga sesuai perintah dari Rambu YG.
Herlina juga menyoroti ada salah satu korban yang mendapat kekerasan seksual sejak kecil dan penyiksaan dari tuannya hingga melarikan diri.
Selain itu, kasus TMB juga dialami oleh Rambu Axi Karera, seorang karyawan perempuan yang ditemukan tak bernyawa di dalam kamar mandi Toko CK2 milik Ongko Kenny di Jalan Waingapu, Sumba Timur, NTT, pada 18 Januari 2024.
Herlina mengungkapkan sistem perbudakan itu merupakan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berbasis budaya. Sebab, korban dipekerjakan tanpa upah, waktu untuk beristirahat, dan kebebasan lain.
“Sehingga ini sistem menjadi terus-menerus. Jadi sistem ini harus dibongkar oleh semua elemen, termasuk media karena sudah memakan korban jiwa,” ujar Herlina
Herlina bersama jaringan perempuan Sumba pernah menggugat praktik perbudakan tersebut pada 2004 dalam sebuah forum yang dihadiri oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Komisi Difabel Indonesia.
Gugatan itu dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Namun, pihak tergugat, yakni Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumba Timur yang didengar keterangan umumnya, mengaku praktik perbudakan itu sudah tidak ada lagi di daerahnya.
“Menurut pihak tergugat sebenarnya tidak ada lagi praktik yang sedemikian. Itu dicatat oleh lima lembaga negara itu, tetapi kemudian ditanyakan secara praktis oleh Mba Anis Hidayah, mereka tidak mampu memberikan penjelasan sebab faktanya tradisi ini memang masih terus berlangsung sampai sekarang, bahkan memakan korban jiwa,” terang Herlina.
Herlina menegaskan ada upaya untuk melanggengkan praktik perbudakan tersebut karena merupakan bagian dari warisan budaya dalam pandangan masyarakat Sumba. Meski demikian, Herlina mengaku sangat berhati-hati karena hal itu merupakan ketakutan sosial bagi masyarakat dan justru membahayakan kalangan Ata atau hamba.
“Sehingga yang kami buat sebenarnya membangun kesadaran bersama bahwa sistem ini memperbudak semua semua orang. Bukan saja hamba, tetapi Maramba juga. Karena begini, mereka akan membiayai kehidupan seluruh hambanya sejak lahir hingga meninggal,” beber Herlina.
“Sementara sumber daya untuk menghidupi, itu makin hari makin terbatas. Nah, para Maramba juga tidak minta dilahirkan dalam keturunan Maramba kan? Tetapi, warisan itu tetap pikul sampai sekarang,” tambah Herlina.
Menurut Herlina, ada irisan yang sangat kuat dalam warisan budaya itu sehingga perlu kehati-hatian untuk mengurainya. Kemudian, perlu untuk disuarakan secara seimbang serta membangun kesadaran kepada para Maramba karena sistem itu tak layak lagi dipertahankan.
“Karena justru mengubah para Ata menjadi tidak manusiawi nanti dan beban yang dipikul makin tinggi. Contohnya seperti kasus yang sedang terjadi ini,” ucap Herlina.
Sistem perbudakan itu, Herlina melanjutkan, sudah termasuk belis atau mahar. Misalkan, pemilik Toko Angkasa ketika membayar belis istrinya, maka di dalamnya sudah termasuk orang yang dibawanya, yakni budak.
“Beban-beban itulah ya kau memang layak untuk bekerja semaksimal mungkin sesuai tuntutan Maramba. Tetapi, tanpa disadari, dalam perkembangan saat terjadinya kasus merendahkan martabat,” jelas Herlina.
Apabila kasus tersebut tak mampu diatasi dan disudahi, maka para budak melarikan diri dan menjadi pekerja migran yang berangkat secara ilegal dengan meninggalkan keluarga dan kampung halamannya.
“Sampai kapan? Oleh karena itu, kesadaran kolektif itu harus ada karena sistem itu merusak kemanusiaan,” kata Herlina.
Ia mengungkapkan dalam kurun waktu 2024-2025, terdapat sekitar 21 kasus kekerasan dan perbudakan terhadap perempuan di Sumba Timur. “Kasus yang sendiri kami advokasi itu ada sekitar 21 kasus dalam dua tahun terakhir ini,” imbuh Herlina.
Ketua Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Sumba Timur, Umbu Kudu Jangga Kadu, menambahkan korban perbudakan tersebut terdiri dari seorang ibu beserta dua anak perempuan dan dua anak laki-lakinya. Kemudian, satu orang yang berstatus sebagai sepupu.
“Satu saja yg mengalami kekerasan, tetapi mereka satu keluarga tinggal di toko bersama aci karena sebagai hamba. Mereka satu keluarga. Ibu bersama empat orang anaknya dan yang satunya lagi sebagai saksi,” kata Umbu.
Umbu menerangkan situasi di sana masih memanas karena pemilik toko berupaya untuk menjemput paksa mereka. Namun, kini para korban telah diamankan di sebuah lokasi yang aman.
“Ini masih sangat memanas dan saat ini mereka dialihkan ke tempat yang aman agar tidak terjadi hal-hal yang diinginkan,” jelas Umbu.
Diberitakan sebelumnya, budak perempuan inisial TBM (19) disiksa dan dianiaya majikannya hingga babak belur. Kepala TBM bahkan sampai digunduli oleh sang majikan.
Kasus penyiksaan itu terjadi di Toko Angkasa, Kelurahan Kambaniru, Kecamatan Kambera, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). TBM kemudian diselamatkan oleh Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Sumba Timur.
“Kasus penyiksaan dan penganiayaan itu diadvokasi langsung oleh kami melalui tindakan penyelamatan darurat dari lokasi kejadian,” ujar Ketua GMKI Cabang Sumba Timur, Umbu Kudu Jangga Kadu, kepada infoBali, Rabu (17/12/2025).
Masuk TPPO
Jadi Warisan Budaya
Herlina mengungkapkan sistem perbudakan itu merupakan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berbasis budaya. Sebab, korban dipekerjakan tanpa upah, waktu untuk beristirahat, dan kebebasan lain.
“Sehingga ini sistem menjadi terus-menerus. Jadi sistem ini harus dibongkar oleh semua elemen, termasuk media karena sudah memakan korban jiwa,” ujar Herlina
Herlina bersama jaringan perempuan Sumba pernah menggugat praktik perbudakan tersebut pada 2004 dalam sebuah forum yang dihadiri oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Komisi Difabel Indonesia.
Gugatan itu dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Namun, pihak tergugat, yakni Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumba Timur yang didengar keterangan umumnya, mengaku praktik perbudakan itu sudah tidak ada lagi di daerahnya.
“Menurut pihak tergugat sebenarnya tidak ada lagi praktik yang sedemikian. Itu dicatat oleh lima lembaga negara itu, tetapi kemudian ditanyakan secara praktis oleh Mba Anis Hidayah, mereka tidak mampu memberikan penjelasan sebab faktanya tradisi ini memang masih terus berlangsung sampai sekarang, bahkan memakan korban jiwa,” terang Herlina.
Masuk TPPO
Herlina menegaskan ada upaya untuk melanggengkan praktik perbudakan tersebut karena merupakan bagian dari warisan budaya dalam pandangan masyarakat Sumba. Meski demikian, Herlina mengaku sangat berhati-hati karena hal itu merupakan ketakutan sosial bagi masyarakat dan justru membahayakan kalangan Ata atau hamba.
“Sehingga yang kami buat sebenarnya membangun kesadaran bersama bahwa sistem ini memperbudak semua semua orang. Bukan saja hamba, tetapi Maramba juga. Karena begini, mereka akan membiayai kehidupan seluruh hambanya sejak lahir hingga meninggal,” beber Herlina.
“Sementara sumber daya untuk menghidupi, itu makin hari makin terbatas. Nah, para Maramba juga tidak minta dilahirkan dalam keturunan Maramba kan? Tetapi, warisan itu tetap pikul sampai sekarang,” tambah Herlina.
Menurut Herlina, ada irisan yang sangat kuat dalam warisan budaya itu sehingga perlu kehati-hatian untuk mengurainya. Kemudian, perlu untuk disuarakan secara seimbang serta membangun kesadaran kepada para Maramba karena sistem itu tak layak lagi dipertahankan.
“Karena justru mengubah para Ata menjadi tidak manusiawi nanti dan beban yang dipikul makin tinggi. Contohnya seperti kasus yang sedang terjadi ini,” ucap Herlina.
Sistem perbudakan itu, Herlina melanjutkan, sudah termasuk belis atau mahar. Misalkan, pemilik Toko Angkasa ketika membayar belis istrinya, maka di dalamnya sudah termasuk orang yang dibawanya, yakni budak.
“Beban-beban itulah ya kau memang layak untuk bekerja semaksimal mungkin sesuai tuntutan Maramba. Tetapi, tanpa disadari, dalam perkembangan saat terjadinya kasus merendahkan martabat,” jelas Herlina.
Apabila kasus tersebut tak mampu diatasi dan disudahi, maka para budak melarikan diri dan menjadi pekerja migran yang berangkat secara ilegal dengan meninggalkan keluarga dan kampung halamannya.
“Sampai kapan? Oleh karena itu, kesadaran kolektif itu harus ada karena sistem itu merusak kemanusiaan,” kata Herlina.
Ia mengungkapkan dalam kurun waktu 2024-2025, terdapat sekitar 21 kasus kekerasan dan perbudakan terhadap perempuan di Sumba Timur. “Kasus yang sendiri kami advokasi itu ada sekitar 21 kasus dalam dua tahun terakhir ini,” imbuh Herlina.
Jadi Warisan Budaya
Ketua Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Sumba Timur, Umbu Kudu Jangga Kadu, menambahkan korban perbudakan tersebut terdiri dari seorang ibu beserta dua anak perempuan dan dua anak laki-lakinya. Kemudian, satu orang yang berstatus sebagai sepupu.
“Satu saja yg mengalami kekerasan, tetapi mereka satu keluarga tinggal di toko bersama aci karena sebagai hamba. Mereka satu keluarga. Ibu bersama empat orang anaknya dan yang satunya lagi sebagai saksi,” kata Umbu.
Umbu menerangkan situasi di sana masih memanas karena pemilik toko berupaya untuk menjemput paksa mereka. Namun, kini para korban telah diamankan di sebuah lokasi yang aman.
“Ini masih sangat memanas dan saat ini mereka dialihkan ke tempat yang aman agar tidak terjadi hal-hal yang diinginkan,” jelas Umbu.
Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.
Diberitakan sebelumnya, budak perempuan inisial TBM (19) disiksa dan dianiaya majikannya hingga babak belur. Kepala TBM bahkan sampai digunduli oleh sang majikan.
Kasus penyiksaan itu terjadi di Toko Angkasa, Kelurahan Kambaniru, Kecamatan Kambera, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). TBM kemudian diselamatkan oleh Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Sumba Timur.
“Kasus penyiksaan dan penganiayaan itu diadvokasi langsung oleh kami melalui tindakan penyelamatan darurat dari lokasi kejadian,” ujar Ketua GMKI Cabang Sumba Timur, Umbu Kudu Jangga Kadu, kepada infoBali, Rabu (17/12/2025).
