Wacana legalisasi tajen atau sabung ayam di Bali menuai pro dan kontra. Di satu sisi, tajen dinilai sebagai warisan budaya yang harus dijaga. Di sisi lain, aktivitas sabung ayam itu disayangkan karena kerap dijadikan ajang perjudian.
Sosiolog Universitas Udayana (Unud), Ni Made Anggita Sastri Mahadewi, menilai usulan DPRD Bali terkait legalisasi tajen perlu dikaji secara mendalam. Sebab, tajen berkelindan dengan berbagai aspek seperti hukum, sosial, budaya, agama, dan ekonomi.
“Legalitas tajen tanpa pengaturan yang ketat berpotensi menimbulkan dampak negatif,” ujar Anggita kepada infoBali, Selasa (24/6/2025).
Anggita menuturkan tajen yang selama ini dimanfaatkan untuk berjudi dapat menjerumuskan masyarakat dari kalangan ekonomi lemah ke lingkaran utang, konflik sosial, hingga kekerasan. Sebelum mengambil keputusan, dia berujar, DPRD Bali harus memperjelas dualitas tajen tersebut agar tidak menimbulkan salah kaprah di masyarakat.
“Kita perlu memahami dualitas tajen di masyarakat Bali. Di satu sisi, tajen adalah bagian tradisi lokal yang telah mengakar selama ratusan tahun,” kata Anggita.
“Namun, tajen juga kerap disertai dengan unsur taruhan yang menjadikan tajen tergolong dalam suatu permainan (perjudian),” imbuh dosen program studi Sosiologi di FISIP Unud itu.
Anggita lantas menjelaskan aspek hukum dan agama yang tidak bisa diabaikan. Secara hukum nasional, dia melanjutkan, tajen yang disertai taruhan jelas bertentangan dengan KUHP tentang Perjudian. Demikian pula dari sudut pandang Hindu yang menurutnya perjudian telah menyimpang dari nilai-nilai Dharma.
“Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa tajen juga memiliki sisi budaya yang penting untuk dilestarikan khususnya dalam konteks upacara keagamaan,” ungkap Anggita.
Dia menyarankan untuk mengedepankan pendekatan yang terukur terkait tajen di Bali. Menurut Anggita, masyarakat dan pemerintah daerah perlu membedakan antara tajen sakral atau ritualistik (tabuh rah) dengan tajen profan atau yang bersifat hiburan.
“Tajen dalam konteks upacara adat bisa tetap dilestarikan dengan pembatasan yang ketat agar tidak melanggar hukum dan nilai moral,” pungkasnya.
Halaman berikutnya: Pro Kontra Legalisasi Tajen di Bali…
Isu legalisasi judi tajen di Bali menyeruak seusai peristiwa berdarah yang menewaskan Komang Alam Sutawan di arena tajen di Kintamani, Bangli, beberapa waktu lalu. Anggota DPRD Bali Fraksi Golkar, I Nyoman Wirya, kemudian mempertanyakan merebaknya harapan masyarakat agar tajen dilegalkan.
Wacana legalisasi tajen juga disuarakan oleh anggota DPRD Bali dari Fraksi Golkar, lainnya, Agung Bagus Pratiksa Linggih alias Ajus Linggih. Ia menyebut praktik tajen selama ini berada di wilayah abu-abu hukum, padahal merupakan bagian dari budaya masyarakat Bali.
Ajus menilai absennya regulasi membuat praktik tajen kerap disalahgunakan oleh oknum tertentu demi keuntungan pribadi. Ia pun berpandangan legalisasi tajen justru akan memberi dampak positif bagi masyarakat.
“Sehingga tajen ini menurut saya daripada dimanfaatkan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, mendingan hasilnya dikembalikan lagi ke masyarakat dalam bentuk pendapatan daerah dan dalam bentuk hibah ke masyarakat. Sehingga masyarakat bisa mendapatkan hasilnya secara menyeluruh,” ujarnya.
Gubernur Bali Wayan Koster tegas menolak wacana legalisasi tajen di Pulau Dewata. Koster menilai legalisasi tajen bukan perkara sederhana dan perlu dikaji secara matang sebelum dibahas lebih lanjut.
“Harus dikaji dulu itu,” kata Koster di Denpasar, Sabtu (21/6/2025).
Sementara itu, Ketua Komisi IV DPRD Bali I Nyoman Suwirta membeberkan pro dan kontra jika tajen atau sabung ayam dilegalkan di Pulau Dewata. Menurutnya, tajen dalam perspektif tradisi tabuh rah tidak perlu diatur melalui peraturan daerah (Perda).
“Kalau untuk tabuh rah, saya kira tidak perlu diperdakan karena itu sudah bagian dari upakara,” ujar Suwirta, Selasa (24/6/2025).
Tabuh rah yang dimaksud oleh Suwirta adalah sabung ayam yang dilakukan terkait ritual atau upacara agama Hindu di Bali. Darah yang dikeluarkan ayam yang kalah saat tabuh rah kemudian digunakan sebagai sarana sesajen. Dalam konteks tabuh rah, tidak ada praktik perjudian sebagaimana dalam tajen.
“Dalam konteks ini (tabuh rah), tajen dianggap sebagai warisan budaya yang perlu dilindungi,” kata Suwirta.