Record Store Day Bali dan Rilisan Fisik yang Menolak Punah

Posted on

Rilisan fisik seperti piringan hitam, kaset pita, hingga compact disc (CD) ternyata belum kehilangan penggemar di tengah hiruk pikuk era digital. Hal itu terlihat dari antusiasme pengunjung Record Store Day (RSD) Bali 2025 yang digelar di Living World, Denpasar, pada 26-27 April 2025.

Penggerak komunitas Record Store Day di Bali, Andhika Gautama, mengungkapkan kecintaan terhadap rilisan fisik meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Ia menyebut jumlah pengunjung helatan RSD Bali 2025 pada hari pertama mencapai 800 orang.

“Walau sekarang musik bisa didengar lewat streaming, banyak juga yang tetap ingin memiliki rilisan fisiknya karena bisa dipegang, dilihat, dan tentu saja didengar,” ujar Andhika saat ditemui di Living World, Denpasar, Minggu (27/4/2025).

Record Store Day Bali merupakan bagian dari perayaan Record Store Day yang digelar serentak di seluruh dunia. Selain Bali, kota di Indonesia lainnya yang ikut ambil bagian dalam perayaan itu antara lain Jakarta, Solo, Medan, dan Yogyakarta.

RDS didedikasikan untuk merayakan budaya toko musik independen dan kegandrungan akan rilisan fisik. Acara tersebut mempertemukan para penggemar, musisi, dan sejumlah toko rekaman independen.

Andhika menuturkan toko-toko musik yang menjual piringan hitam, kaset, maupun CD juga cukup menggeliat sejak beberapa tahun terakhir. Pada 2016, dia berujar, toko rilisan fisik di Bali hanya ada satu. Kini, sudah ada lebih dari 15 toko offline yang menjual rilisan fisik di Bali. Itu belum termasuk toko online.

“Tahun 2016, kebanyakan toko musik di Bali jualan online. Sekarang sudah ada 15 toko, perkembangannya jauh lebih besar,” imbuhnya.

Menurut Andhika, tingginya peminat rilisan fisik juga tercermin dari dibukanya kembali pabrik piringan hitam yang mencetak vinyl di Jakarta. Ia menilai kebutuhan terhadap rilisan fisik tak sekadar untuk ajang nostalgia, melainkan menjadi bagian dari pasar yang aktif dan bertumbuh.

“Dari dulu pasar rilisan fisik memang segmented, tapi bukan berarti kecil. Pembelinya tetap banyak. Sekarang malah pasarnya naik dan harganya tidak murah karena peminatnya tinggi,” ujar Andhika.

Fenomena ini juga didukung oleh tren baru di kalangan musisi. Banyak musisi di dalam maupun luar negeri yang merilis album dalam format piringan hitam. Misalkan The Hydrant, band rockabilly asal Bali, yang meluncurkan piringan hitam bertajuk Motel Kutadalajara di ajang RSD Bali 2025.

“Sekarang banyak artis yang merilis album dalam format piringan hitam. Walaupun tidak terlalu terekspos, sebenarnya di luar negeri sudah sangat besar,” ujar Andhika.

Gelaran Record Store Day Bali 2025 diikuti sekitar 40 toko musik, baik offline maupun online. Ajang tersebut menawarkan berbagai rilisan fisik dari beragam aliran musik. Tak hanya itu, kegiatan itu juga menjual koleksi majalah musik, buku, hingga merchandise band-band dalam maupun luar negeri.

Ipung, salah satu peserta RSD Bali 2025, mengaku sudah menyukai rilisan fisik sejak 1980-an dan mulai berjualan kaset pada 2010. “Awalnya koleksi pribadi. Kalau sudah numpuk dan ada yang saya kurang suka, baru saya jual,” ujar pemilik toko kaset Ipunx Kigoblock itu.

Harga rilisan fisik di toko Ipung bervariasi, tergantung band dan kualitas. Satu piringan hitam dia jual dengan harga dari Rp 100 ribu hingga Rp 600 ribu. Kemudian, rilisan CD berkisar Rp 40 ribu hingga Rp 75 ribu dan kaset pita sekitar Rp 25 ribuan.

Ipung mengakui perawatan kaset pita memiliki tantangan tersendiri. Selain itu, perangkat pemutar kaset juga semakin langka di pasaran. Sebagian besar player yang beredar adalah produksi lama. Belum lagi layanan servis di Bali yang juga terbatas.

Bagi Ipung, rilisan fisik menawarkan pengalaman utuh dalam menikmati musik. “Dulu kita bisa pegang, lihat gambar albumnya, baca teks dan foto-foto musisinya. Musik jadi bukan sekadar suara lewat,” pungkasnya.