Sidang lanjutan praperadilan Polres Klungkung berlangsung panas di Pengadilan Negeri (PN) Semarapura, Selasa (5/8/2025). Pengacara dari Polres Klungkung selaku termohon bersitegang dengan ahli pidana, Dr. Ahmad Sofyan, yang dihadirkan tim pemohon I Wayan Suparta (48).
Peristiwa terjadi dalam perkara 4/Pid.Pra/2025/PN Srp atas dugaan salah tangkap dan penyiksaan terhadap I Wayan Suparta (48). Pada kesempatan itu, Ahmad memaparkan mengenai keabsahan upaya paksa dalam proses penegakan hukum hingga ruang lingkup objek yang bisa diajukan dalam praperadilan.
“Pengamanan suatu barang pada tahap penyelidikan, bisa saja kan? Benda tersebut kuat diduga kendaraan bodong, misalnya. Dari pengembangan, karena tersangka lain sudah diputus pidananya dan ada sebut orang ini,” ujar termohon.
“Katakanlah X punya teman Y yang menjadi sindikatnya X. Polisi lakukan pengembangan dong. Tidak bisa percaya sepenuhnya pada omongan X. Lakukan proses lidik dan sidik pada Y. Tidak bisa barang Y otomatis disita atas cerita X,” terang Ahmad.
“Tidak disita, tapi diamankan dan sudah mendapat persetujuan,” sahut termohon.
“Tidak bisa, tidak bisa. Itu sudah upaya paksa. Omongan X baru satu alat bukti dan belum tentu benar. Tetap butuh alat bukti dan dinaikan ke tahap penyidikan. Mana logikanya? Apa dasar hukumnya? Kok bisa ambil properti milik Y dari omongan X,” cecar Ahmad.
Penjelasan berdasarkan keilmuan pidana dan acara pidana tersebut guna membuat semakin terang kasus. Apalagi sebelumnya dua saksi telah dihadirkan untuk memberikan keterangan.
Diawali dengan Ketut Ariati Setiana, seorang ibu rumah tangga sekaligus istri dari Wayan Suparta. Dalam kesaksiannya, ia menjelaskan kronologi kejadian penganiayaan terhadap suaminya pada 26-28 Mei 2024.
Tiba-tiba saja pada 26 Mei 2024, rumahnya yang berada di Jalan Waribang, Denpasar didatangi sejumlah penyidik dari Polres Klungkung. Mereka hendak bertemu Wayan Suparta, hanya untuk mencari keberadaan mobil Pajero yang menjadi barang transaksi antara Mang Togel dengan Dewa Krisna.
Wayan Suparta memang menjadi penghubung keduanya dalam transaksi tersebut. Ia membantu Mang Togel, yang baru dikenalnya seminggu, menggadaikan mobil karena butuh uang. Tapi, Wayan Suparta, Ariati berujar, tidak mengetahui keberadaan mobil itu.
Begitu Wayan Suparta pulang sekira pukul 20.00 wita, ia dipiting dan diinterogasi di barong (pos satpam) dekat rumah mereka. Pada akhirnya Wayan Suparta diangkut tanpa surat-surat penugasan dan Ariati tidak diperbolehkan ikut.
“Kalau ibu mau suami selamat, cari dulu mobil pajeronya. Kalau tidak, saya matikan suaminya di penjara,” tutur Ariati menirukan suara polisi yang mengancamnya.
Esoknya, pada 27 Mei 2025, Wayan Suparta bersama tim kepolisian kembali ke rumah. Saat itu, mobil yang dikuasai Wayan Suparta berikut kunci dan STNK diambil mereka. Wayan Suparta pun sekali lagi diangkut.
“Kayak orang ketakutan, sedih. Tidak seperti suami saya. Wajahnya lebam. Suami ditemani polisi terus sehingga kami tidak berkomunikasi,” cerita Ariati.
Pada 28 Mei 2024, Wayan Suparta baru benar-benar dipulangkan. Kepada Ariati, ia bercerita dianiaya, diborgol, dan telinganya terus mendengung sehingga sulit mendengarkan. Keenam kendaraannya pun belum dikembalikan.
Keduanya sempat melihat mobil dan motornya berada di Polres Klungkung sudah dalam keadaan rusak. Untuk itu, dilakukan visum terhadap Wayan Suparta, melaporkan ke Polda Bali, dan memohon pengembalian 5 mobil dan 1 motor tersebut.
Kendati kesaksian Ariati diperdengarkan di persidangan, dirinya tidak disumpah karena masih memiliki hubungan keluarga dengan Wayan Suparta dan menerima keberatan dari pihak termohon.
“Sesuai Pasal 168 KUHAP, kami pihak termohon keberatan karena masih hubungan suami istri,” ucap termohon.
Berpegang pada prinsipnya, termohon juga menolak mengajukan pertanyaan kepada Ariati.
Selain Ariati, ada I Gede Eka Wiyastra yang menjadi saksi dan tersumpah. Ia sudah mengenal Wayan Suparta selama 5 tahun karena rutinnya mobil Wayan Suparta servis AC atau freyon di bengkelnya.
Gede Eka juga tidak memperhatikan seksama tiap kendaraan yang dibawa Wayan Suparta, apakah itu miliknya atau bukan. Yang jelas, Gede Eka tahu Wayan Suparta berbisnis jual-beli dan sewa mobil.
“Saya tidak tahu mobil Pak Wayan apa saja. Biasa gonta-ganti. Tidak pernah juga lihat STNKnya. Tapi, kalau mobil pajero tidak pernah melihat dan diservis di bengkel saya,” kata Gede Eka.
Sementara itu, pada 27 Mei 2024, mobil Opel Blazer warna abu metalik yang diketahui milik Wayan Suparta dan baru selesai diservis di bengkel Gede Eka, ditagih oleh salah seorang yang mengaku dari Polres Klungkung. Padahal biasanya jika diambilkan oleh orang lain, perlu menyertakan surat.
Kala itu, Gede Eka bertemu Wayan Suparta dari balik kaca mobil dengan kondisi diborgol. Karena itu, ia berani menyerahkan kendaraan itu kepada polisi.
Waktu berlalu, Gede Eka bertemu kembali Wayan Suparta urusan perbaikan freon. Gede Eka merasa janggal dengan Wayan Suparta karena dipanggil berulang kali tidak menyahut. Wayan Suparta mengaku pendengarannya sedang terganggu.
“Wayan Suparta menceritakan kekerasan di rumah kosong, tapi tidak cerita detail sehingga telinganya begitu. Tidak tahu penyebabnya, hanya sebut karena sebuah kejadian,” ungkap Gede Eka.
Diberitakan sebelumnya, Polres Klungkung digugat melalui praperadilan terkait dugaan salah tangkap dan penyiksaan terhadap I Wayan Suparta. Permohonan diajukan oleh tim kuasa hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, Rhadite Ignatius dan Dewa Putu Adnyana, di Pengadilan Negeri (PN) Semarapura.
“Pemohon ditangkap tanpa adanya surat penangkapan. Dilakukannya juga tidak sah karena pada tahap penyelidikan, padahal bukan tertangkap tangan. Berita acara pun tidak ditembuskan kepada pemohon maupun keluarganya,” ujar Rhadite.
Dia juga menyebut tidak ada pemeriksaan sebelum dilakukan penangkapan. Polisi juga tidak menunjukkan bukti permulaan dilakukan penangkapan, dan tidak menyertakan surat penggeledahan dan penyitaan. Kemudian, tidak ada saksi di luar kepolisian saat dilakukan upaya paksa. Rhadite juga mengungkapkan pemeriksaan terhadap Suparta disertai dengan kekerasan dan tanpa akses bantuan hukum.
Tiba-tiba saja pada 26 Mei 2024, rumahnya yang berada di Jalan Waribang, Denpasar didatangi sejumlah penyidik dari Polres Klungkung. Mereka hendak bertemu Wayan Suparta, hanya untuk mencari keberadaan mobil Pajero yang menjadi barang transaksi antara Mang Togel dengan Dewa Krisna.
Wayan Suparta memang menjadi penghubung keduanya dalam transaksi tersebut. Ia membantu Mang Togel, yang baru dikenalnya seminggu, menggadaikan mobil karena butuh uang. Tapi, Wayan Suparta, Ariati berujar, tidak mengetahui keberadaan mobil itu.
Begitu Wayan Suparta pulang sekira pukul 20.00 wita, ia dipiting dan diinterogasi di barong (pos satpam) dekat rumah mereka. Pada akhirnya Wayan Suparta diangkut tanpa surat-surat penugasan dan Ariati tidak diperbolehkan ikut.
“Kalau ibu mau suami selamat, cari dulu mobil pajeronya. Kalau tidak, saya matikan suaminya di penjara,” tutur Ariati menirukan suara polisi yang mengancamnya.
Esoknya, pada 27 Mei 2025, Wayan Suparta bersama tim kepolisian kembali ke rumah. Saat itu, mobil yang dikuasai Wayan Suparta berikut kunci dan STNK diambil mereka. Wayan Suparta pun sekali lagi diangkut.
“Kayak orang ketakutan, sedih. Tidak seperti suami saya. Wajahnya lebam. Suami ditemani polisi terus sehingga kami tidak berkomunikasi,” cerita Ariati.
Pada 28 Mei 2024, Wayan Suparta baru benar-benar dipulangkan. Kepada Ariati, ia bercerita dianiaya, diborgol, dan telinganya terus mendengung sehingga sulit mendengarkan. Keenam kendaraannya pun belum dikembalikan.
Keduanya sempat melihat mobil dan motornya berada di Polres Klungkung sudah dalam keadaan rusak. Untuk itu, dilakukan visum terhadap Wayan Suparta, melaporkan ke Polda Bali, dan memohon pengembalian 5 mobil dan 1 motor tersebut.
Kendati kesaksian Ariati diperdengarkan di persidangan, dirinya tidak disumpah karena masih memiliki hubungan keluarga dengan Wayan Suparta dan menerima keberatan dari pihak termohon.
“Sesuai Pasal 168 KUHAP, kami pihak termohon keberatan karena masih hubungan suami istri,” ucap termohon.
Berpegang pada prinsipnya, termohon juga menolak mengajukan pertanyaan kepada Ariati.
Selain Ariati, ada I Gede Eka Wiyastra yang menjadi saksi dan tersumpah. Ia sudah mengenal Wayan Suparta selama 5 tahun karena rutinnya mobil Wayan Suparta servis AC atau freyon di bengkelnya.
Gede Eka juga tidak memperhatikan seksama tiap kendaraan yang dibawa Wayan Suparta, apakah itu miliknya atau bukan. Yang jelas, Gede Eka tahu Wayan Suparta berbisnis jual-beli dan sewa mobil.
“Saya tidak tahu mobil Pak Wayan apa saja. Biasa gonta-ganti. Tidak pernah juga lihat STNKnya. Tapi, kalau mobil pajero tidak pernah melihat dan diservis di bengkel saya,” kata Gede Eka.
Sementara itu, pada 27 Mei 2024, mobil Opel Blazer warna abu metalik yang diketahui milik Wayan Suparta dan baru selesai diservis di bengkel Gede Eka, ditagih oleh salah seorang yang mengaku dari Polres Klungkung. Padahal biasanya jika diambilkan oleh orang lain, perlu menyertakan surat.
Kala itu, Gede Eka bertemu Wayan Suparta dari balik kaca mobil dengan kondisi diborgol. Karena itu, ia berani menyerahkan kendaraan itu kepada polisi.
Waktu berlalu, Gede Eka bertemu kembali Wayan Suparta urusan perbaikan freon. Gede Eka merasa janggal dengan Wayan Suparta karena dipanggil berulang kali tidak menyahut. Wayan Suparta mengaku pendengarannya sedang terganggu.
“Wayan Suparta menceritakan kekerasan di rumah kosong, tapi tidak cerita detail sehingga telinganya begitu. Tidak tahu penyebabnya, hanya sebut karena sebuah kejadian,” ungkap Gede Eka.
Diberitakan sebelumnya, Polres Klungkung digugat melalui praperadilan terkait dugaan salah tangkap dan penyiksaan terhadap I Wayan Suparta. Permohonan diajukan oleh tim kuasa hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, Rhadite Ignatius dan Dewa Putu Adnyana, di Pengadilan Negeri (PN) Semarapura.
“Pemohon ditangkap tanpa adanya surat penangkapan. Dilakukannya juga tidak sah karena pada tahap penyelidikan, padahal bukan tertangkap tangan. Berita acara pun tidak ditembuskan kepada pemohon maupun keluarganya,” ujar Rhadite.
Dia juga menyebut tidak ada pemeriksaan sebelum dilakukan penangkapan. Polisi juga tidak menunjukkan bukti permulaan dilakukan penangkapan, dan tidak menyertakan surat penggeledahan dan penyitaan. Kemudian, tidak ada saksi di luar kepolisian saat dilakukan upaya paksa. Rhadite juga mengungkapkan pemeriksaan terhadap Suparta disertai dengan kekerasan dan tanpa akses bantuan hukum.