Masyarakat adat Boti bermukim di Desa Boti, Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Permukiman ini berjarak sekitar 40 kilometer dari Kota Soe, ibu kota Kabupaten TTS.
Suku Boti dipimpin oleh Bapak Benu, seorang Usif atau raja yang dihormati baik oleh masyarakat Boti Dalam maupun Boti Luar. Kepemimpinan Usif tidak hanya bersifat simbolik, tetapi menjadi pusat nilai, adat, dan tata kehidupan sehari-hari. Masyarakat Boti dikenal teguh memegang Kepercayaan Halaika, sebuah sistem kepercayaan yang diwariskan secara turun-temurun.
Dalam kepercayaan tersebut, Uis Neno sebagai penguasa langit dan Uis Pah sebagai penguasa bumi diyakini sebagai leluhur agung yang mengatur keseimbangan dunia dan menjaga alam semesta. Penghormatan terhadap alam menjadi prinsip utama kehidupan mereka. Menariknya, di tengah kondisi NTT yang dikenal beriklim kering, masyarakat Boti justru tidak pernah mengalami krisis pangan. Fenomena ini bukan kebetulan, melainkan hasil dari sistem hidup yang terjaga lintas generasi.
Bagi masyarakat Boti, alam bukan sekadar ruang hidup, melainkan entitas yang bernyawa dan harus diperlakukan dengan hormat. Hubungan antara manusia dan lingkungan bersifat dinamis dan saling memengaruhi. Uis Pah dipahami sebagai perwujudan bumi yang memberi kehidupan, sehingga eksploitasi berlebihan dianggap sebagai pelanggaran adat.
Masyarakat Boti memiliki perhitungan hari baik dalam mengelola kehidupan, termasuk dalam bercocok tanam dan pemanfaatan sumber daya alam. Salah satunya adalah Neon Oe atau hari air, yakni waktu khusus untuk mengelola dan menggunakan air secara bijaksana agar keseimbangannya tetap terjaga.
Meski wilayah NTT umumnya kering, kawasan Boti justru memiliki kondisi tanah yang lembap serta curah hujan yang relatif stabil. Mata air tetap mengalir sepanjang tahun. Keadaan ini tidak lepas dari cara masyarakat menjaga hutan, tanah, dan sumber air tanpa merusaknya. Alam yang dirawat, pada akhirnya memberi kembali dalam bentuk kesuburan dan ketersediaan pangan.
Kesuburan tanah membuat masyarakat Boti mampu mengembangkan pertanian ladang secara berkelanjutan. Jenis tanaman yang dibudidayakan antara lain umbi-umbian seperti singkong, sorgum, dan jewawut, serta biji-bijian seperti jagung dan padi ladang. Pisang juga menjadi tanaman penting dalam pola pangan mereka. Seluruh tanaman ini ditanam di antara pepohonan besar, sehingga ekosistem tetap terjaga.
Ladang biasanya digunakan selama sekitar tiga tahun. Setelah masa tanam selesai, lahan tidak dibiarkan rusak, melainkan dialihfungsikan sebagai area penggembalaan ternak. Hewan yang dipelihara meliputi ayam, babi, kambing, dan sapi, yang telah lama menjadi bagian dari sistem domestikasi masyarakat Boti.
Pola pertanian dan peternakan yang saling terhubung ini menciptakan siklus pangan yang stabil. Kerja sama seluruh anggota komunitas membuat tidak ada keluarga yang mengalami kekurangan makanan. Ketahanan pangan bukan hanya soal hasil panen, tetapi juga soal solidaritas sosial.
Bapak Benu sebagai Usif Boti tidak menempatkan dirinya di atas masyarakat. Ia terlibat langsung dalam berbagai pekerjaan, mulai dari bertani hingga membantu warga yang membutuhkan. Bagi Benu, kepemimpinan bukan soal jarak, melainkan teladan.
Ketika ada masyarakat yang memerlukan bantuan lahan atau kebutuhan hidup lainnya, Usif tidak ragu untuk berbagi. Sikap ini memperkuat rasa kebersamaan dan kepercayaan antarwarga. Di bawah kepemimpinan yang membumi dan berpihak pada alam, masyarakat adat Boti mampu hidup selaras, mandiri, dan berdaulat atas pangannya.
