Perjuangan Difabel di Lombok Timur Menafkahi Keluarga

Posted on

Abdul Gani Murad menyandarkan tubuhnya di bawah pohon nangka area parkiran Puskesmas Batuyang, Kecamatan Pringgabaya, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), Minggu (18/10/2025) siang. Penyandang disabilitas itu sesekali mengusap keringat yang menetes di dahinya.

Pria asal Dusun Pernek, Desa Apitaik, itu berada di parkiran Puskesmas Batuyang bukan tanpa alasan. Lelaki yang kerap disapa Murad itu tengah berjualan ikan hias. Puluhan ekor cupang dan berbagai jenis ikan hias lain yang terikat plastik bergelantungan di boks atas motornya.

Ketika pelanggan datang, Murad berusaha berdiri dengan berpegangan pada motor dan tiang bendera di dekatnya. Kakinya yang patah akibat kecelakaan lalu lintas (lakalantas) tiga tahun lalu membuatnya tak bisa hidup sebagaimana biasanya.

“Dulu awalnya saya jualan gulali. Waktu itu di pinggir jalan saya berhenti sebentar, tiba-tiba datang ada orang dari depan ngebut bawa motor dan menabrak saya,” tutur Murad kepada infoBali, Minggu (19/10/2025).

Kecelakaan tersebut membuat Murad mengalami cacat permanen. Ia tidak bisa berjalan tanpa menggunakan alat bantu.

“Beberapa kali saya dioperasi, bahkan sempat dipasang besi di kaki saya, tetapi kalau bergerak itu rasanya sangat sakit sekali. Hingga kini, saya tidak bisa berjalan kalau tidak memakai tongkat,” ucap Murad.

Murad tak mau berpangku tangan meski menjadi penyandang disabilitas. Sebagai kepala keluarga, Murad terus berupaya menafkahi istri dan empat anaknya di tengah keterbatasan. Jualan ikan hias keliling menjadi pilihannya.

“Anak saya masih balita, satu orang masih SMP, sementara anak saya yang pertama di pergi merantau sehingga sebagai kepala keluarga tentu saya memiliki tanggung jawab untuk menafkahi mereka meskipun hanya jualan ikan hias,” tutur Murad.

Murad menjual ikan hias dengan berkeliling desa di Lombok Timur. Ia berjualan dengan motor saudaranya yang telah dipasang boks untuk membawa ikan hias.

“Ini saudara saya yang ngasih pinjem motor, yang buatin boks ini juga saudara saya. Kadang-kadang kalau ada rezeki lebih, saya kasih uang untuk saudara saya tempat saya pinjam motor ini,” kisah Murad.

Ikan hias yang dijual Murad dibeli dari orang lain. Ia hanya membawa sebanyak 50 hingga 60 ikan hias dalam sehari untuk dijual. Keuntungannya pun tak besar. Terkadang hanya mendapatkan untung seribu hingga dua ribu rupiah per ekor.

“Tidak banyak hasilnya. Misalkan dalam satu ekor ini saya mengambil di bos harganya Rp 5 ribu, saya jual Rp 7 ribu atau Rp 6 ribu, yang penting ada untungnya sedikit. Nanti itu berapa yang laku tinggal saya setor ke tempat saya mengambil ikan ini. Untungnya itu kemudian saya bawa pulang,” jelas Murad.

Murad mendapatkan keuntungan Rp 50 ribu dan paling banyak Rp 100 ribu dalam sehari. Nilai itu masih harus dibagi untuk uang bensin dan makan.

“Sisanya itu kadang Rp 50 ribu. Itu dah yang saya bawa pulang untuk beli beras, biaya anak sekolah, dan untuk beli susu anak saya juga. Meskipun sedikit, tetap saya syukuri,” terang Murad.

Upaya Murad menghidup istri dan anaknya dengan berjualan ikan hias tak selalu lancar. Ia pernah tak berhasil menjual satu ikan pun. Bahkan, karena cuaca yang panas, banyak ikan hias yang ia jual mati sehingga merugi.

Murad merasa sedih ketika usahanya merugi. Sebab, anaknya sekolah harus berjalan kaki karena tidak ada ongkos naik mobil bemo. Bahkan, uang jajan pun tidak ada karena Murad tidak memiliki uang.

“Anak saya kan minta uang ongkos, tetapi mau gimana lagi. Waktu itu jualan saya tidak ada yang laku, bahkan ikannya banyak yang mati. Itu yang membuat sangat sedih dan menangis dalam hati,” tutur Murad sembari meneteskan air mata.

Tak hanya sampai di situ, Murad juga kerap mendapatkan laporan dari anaknya ketika di sekolah sering mendapatkan perundungan karena kondisinya yang pincang.

“Anak saya kalau pulang sekolah kadang bercerita juga, bapaknya pincang, itu kata teman-temanya waktu di sekolah. Saya hanya memberi pesan kepada anak saya untuk bersabar,” kata Murad.