Pengalaman Melukat di Beji Telaga Waja Bali yang Penuh Nilai Sejarah

Posted on

Berkunjung ke Bali, tak luput dari wisata spiritualis. Wisatawan asing maupun domestik biasanya memilih melukat (pembersihan diri) hingga sempat menjadi tren. Banyak lokasi bisa digunakan melukat. Namun, pernahkah terbayang untuk melukat di situs purbakala tanpa sehelai kain pun?

Beji Telaga Waja yang berlokasi di Banjar Kepitu, Desa Kendran, Kecamatan Tegalalang, Gianyar, akan memberikan pengalaman melukat yang berbeda. Bagian dari Pura Telaga Waja ini dibangun pada abad ke-10 masehi dan hanya pernah sekali direnovasi sekitar tahun 1990-an.

Untuk itu, nuansa alamnya sangat kental dengan perpaduan pepohonan rimbun, gemericik air pancuran, suara burung, hingga aliran sungai di dekat lokasi. Apabila beruntung, pemedek (pengunjung tempat peribadatan) boleh jadi bertemu dengan kera. Terkadang mereka hadir mencari makan di antara pepohonan.

Selain alam, nilai sejarah yang tinggi nampaknya mendorong minat pemedek untuk melukat di lokasi spiritual tersebut. Diketahui bahwa selama ratusan tahun sudah menjadi tempat pertapaan. Tercatat dalam naskah Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca pada abad ke-13 Masehi, lokasi tersebut dinamai Pusat Pertapaan Talaga Dhwaja.

Bahkan, dikatakan Dang Hyang Dwijendra dan Patih Kebo Iwa pernah melakukan pertapaan dan penglukatan di lokasi yang bisa ditempuh selama 25 menit dari pusat Kota Gianyar tersebut.

Bekas telapak kaki Kebo Iwa juga pernah ada pada salah satu batu padas telaga (kolam). Namun, kini menghilang akibat pengikisan. Tiap telaga dinamai Siwa dan Buddha sesuai ajaran Siwa Buddha yang dahulu ada dan dianut.

Jejak sejarah lainnya dapat dilihat dari adanya relief menyerupai huruf H pada pintu masuk menuju beji yang sekaligus berada di lokasi bekas peserta pasraman (lembaga belajar agama) melakukan meditasi. Ini mirip sekali dengan pengunci pada pintu gebyok rumah Bali. Untuk itu, diyakini relief itu menjadi pintu masuk sekala (dunia nyata) dan niskala (dunia gaib).

Tradisi dan Pantangan dalam Melukat

“Sebelum masuk ke beji untuk melukat, pemedek perlu ke bagian relief itu dulu. Memohon izin sambil mengetuknya sebanyak tujuh kali”, jelas Jero Mangku Besang, salah satu orang suci sekaligus pengelola Beji Telaga Waja saat dijumpai infoBali, Minggu (15/6/2025).

Pemedek yang hadir tidak harus dari kalangan umat Hindu. Namun bila ia beragama Hindu, wajib melakukan persembahyangan dahulu di Pura Telaga Waja, posisinya berada di atas beji.

Saat memasuki area pura hingga beji juga diwajibkan berbusana adat dan tidak sedang dalam keadaan menstruasi maupun berduka karena meninggal dunianya pihak keluarga maupun kerabat.

Prosesi melukat kemudian bisa dilakukan dengan menanggalkan pakaian hingga alas kaki. Pemedek masuk secara privat dan bergilir. Bahkan pemangku juga tidak diperkenankan masuk ketika pemedek sedang melukat.

Lalu, hanya diperkenankan berkelompok jika dalam satu jenis kelamin. Anggota kelompoknya yang berbeda jenis kelamin akan menunggu antrian di lokasi bekas pasraman tersebut, posisinya di tengah-tengah antara beji dengan pura.

“Orang kadang ragu ke sini karena takutnya diintip. Di sini aman karena sekelilingnya tertutup dan bergilir juga pemedeknya. Pantang untuk berpakaian saat melukat karena dipercaya nanti malah bernasib kurang baik”, tutur Jero Mangku Suwaja, pengelola beji lainnya.

Makna Beji Telaga Waja

“Memang bedanya di sini tidak berpakaian. Sebenarnya sama seperti mandi di rumah. Tapi, itu kan pembersihan jasmani. Kalau yang ini pembersihan rohani. Dan, perlu dilepas semua supaya bersihnya menyeluruh”, terang Jero Mangku Besang menyoal alasan di balik pemedek tidak diperkenankan berpakaian saat melukat.

Pemedek melakukan prosesi melukat di 11 air pancuran yang berada di bawah telaga Siwa dan Buddha. Terdapat undakan (tangga) menuju telaga yang posisinya di tengah-tengah sehingga membagi tempat melukat menjadi enam dan lima air pancuran.

“Enam pancuran berarti pembersihan diri untuk mengurangi Sad Ripu (6 musuh dalam diri manusia). Tidak mungkin hilang 100% karena kita lahir membawa karma. Kalau yang lima pancuran berarti pembersihan terhadap panca indera kita,” jelas Jero Mangku Besang.

Tidak hanya melukat di tempat, pemedek juga bisa membawa pulang air dari Beji Telaga Waja untuk anggota keluarga di rumah. Bedanya, air tidak diambil dari 11 pancuran tersebut, melainkan dari klebutan ibu. Diyakini mampu memberikan kemakmuran, kesembuhan dari penyakit hingga healing.

Tempat Melukat Balian hingga Pedanda

infoBali melihat bagaimana para pemedek yang datang cukup sedikit dan tertib mengikuti ketentuan. Mereka nampak bergegas melakukan tiap tahapan sehingga tidak memakan waktu lama di lokasi dan segera pulang.

Rupanya tempat melukat yang didominasi pemedek dari kalangan balian hingga pedanda tersebut juga belum cukup tersohor di masyarakat umum. Mereka yang kenal pun umumnya menghubungi Jero Mangku Suwarja untuk reservasi.

Tidak ada biaya yang dipungut, hanya saja untuk memastikan para pemangku ada di tempat dan air pancuran dalam kondisi yang layak digunakan melukat. Sebab, warga Banjar Kepitu yang menjadi pengemong pura akan melakukan pembersihan secara berkala.

Selain itu, disarankan datang menggunakan kendaraan roda dua karena jalan menuju lokasi sempit. Kalau membawa mobil, maka dapat parkir di Banjar Kepitu yang berjarak 100 meter dari lokasi. Pemedek juga baiknya tidak datang saat musim hujan karena hampir keseluruhan bangunan masih terbuat alami dari bebatuan dan cukup berlumut.