Panitia membatalkan pagelaran Broadway ‘Legenda Putri Komodo’ dalam rangkaian Komodo Waterfront Festival (KWF) 2025. Pembatalan dilakukan merespons protes warga Kampung Adat Komodo di Taman Nasional (TN) Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka menolak Legenda Putri Komodo menjadi bagian dari KWF 2025.
“Untuk mengatasi keresahan yang terjadi di tengah masyarakat Desa Komodo, maka kami memutuskan membatalkan pagelaran Broadway ‘Legenda Putri Komodo’ dalam rangkaian Komodo Waterfront Festival,” kata Ketua KWF 2025, Evan, dalam keterangannya, Senin (3/11/2025).
Evan mengatakan keputusan membatalkan broadway ‘Legenda Putri Komodo’ dalam KWF 2025 sebagai komitmen dan tanggung jawab moral penyelenggara dalam menghormati nilai-nilai adat serta warisan budaya masyarakat Pulau Komodo dan sekitarnya. Evan meminta maaf atas rencana memasukkan Legenda Putri Komodo dalam KWF 2025.
“Kami memahami bahwa cerita rakyat dan nilai-nilai budaya (Kampung Adat) Komodo merupakan warisan sejarah yang harus dijaga keasliannya serta dihormati. Kami juga menyadari adanya kekhawatiran dari masyarakat adat terhadap kemungkinan terjadinya salah interpretasi atas cerita yang diangkat dalam pagelaran tersebut,” jelas Evan.
Evan menjelaskan festival yang mereka selenggarakan bertujuan untuk mengangkat kearifan lokal, kekayaan alam, dan budaya NTT serta Manggarai Barat kepada masyarakat Indonesia dan dunia. Evan mengeklaim tak ada tujuan komersial atau mencari keuntungan dari penyelenggaraan KWF 2025.
“Kami berkomitmen untuk memastikan setiap karya yang ditampilkan tetap sejalan dengan nilai-nilai budaya dan adat yang dimiliki masyarakat setempat,” terang Evan
Sebagai tindak lanjut, panitia akan lebih memperkuat komunikasi dan kemitraan dengan masyarakat adat lokal, khususnya dalam proses kurasi dan pementasan seni budaya dalam masyarakat. Panitia membuka ruang kolaborasi yang lebih luas bagi masyarakat lokal, baik sebagai penasihat budaya dan adat, pembawa tarian, maupun bagian dari tim kreatif. Tujuannya untuk memastikan setiap karya yang dihadirkan lahir dari pemahaman bersama dan penghormatan mendalam terhadap budaya Pulau Komodo.
“Kami menegaskan bahwa langkah ini bukan akhir dari kreativitas, melainkan awal dari proses kolaborasi yang lebih autentik, bermartabat, dan berakar pada nilai-nilai masyarakat lokal. Komodo Waterfront Festival akan terus menjadi ruang untuk merayakan kekayaan budaya (Kampung Adat) Komodo dan Manggarai Barat dengan semangat penghormatan, kemitraan, dan keberlanjutan,” tegas Evan.
Sebagai informasi, warga Kampung Adat Komodo memprotes rencana KWF 2025 yang memasukkan Legenda Putri Komodo. Terlebih, mereka memasukkan cerita itu tanpa berkoordinasi terlebih dahulu dengan warga Kampung Adat Komodo.
“Kami sangat tidak setuju mengambil cerita Komodo untuk dijadikan dalam satu ajang tanpa ada konfirmasi dan duduk bersama dengan masyarakat Desa Komodo,” tegas warga kampung Komodo, Ismail, Minggu (26/10/2025).
Pria yang menjabat Sekretaris Desa (Sekdes) Komodo ini mengatakan penyelenggara festival seharusnya berkonsultasi terlebih dahulu dengan warga Kampung Komodo. Sebab, cerita tentang Legenda Putri Komodo ada asal usul sejarahnya. Cerita legenda yang dimaksud adalah kembaran beda rupa antara Ora dan Gerong, satu manusia dan satunya komodo.
“Setiap sejarah pasti ada asal usulnya dan dari mana sejarah itu berasal. Ora dan Gerong terlahir dari rahim Suku Ata Modo, nenek moyang kami. Jadi kami punya hak untuk menuntut itu semua,” tegas Ismail.
Ismail menuturkan protes serupa pernah disampaikan saat Sail Komodo di Labuan Bajo pada 2023. Namun, protes saat itu diabaikan oleh penyelenggara. “Sekarang lagi-lagi mau dilakukan hal yang sama. Tolong hargai masyarakat adat desa komodo,” terang Ismail.
“Pada saat itu kami melakukan protes, tetapi kekuasaanlah yang membuat kami tak berdaya. Tetapi, sekarang kami sudah siap untuk membela hak atas budaya dan leluhur kami. Kami bukan sampah yang tak ada harga dan nilainya,” tegas Ismail.
