Menyusuri Kampung Bena, Desa Adat Tertua di Flores

Posted on

Kampung Bena berada di Kabupaten Ngada, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Desa Tiworiwu, Kecamatan Jerebuu. Lokasinya sekitar 18 kilometer di selatan Kota Bajawa. Kampung adat ini terletak tepat di kaki Gunung Inerie, salah satu gunung berapi paling ikonik di Flores.

Bena bukan sekadar desa adat, melainkan museum hidup yang masih mempertahankan tradisi, arsitektur, dan ritual leluhur yang telah diwariskan selama ratusan bahkan ribuan tahun. Keaslian inilah yang membuat Kampung Bena menjadi salah satu destinasi budaya paling penting di Indonesia Timur.

Tak mengherankan jika kampung ini kerap membuat wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, terkesima. Selain panorama alam yang dramatis, Bena memiliki pola permukiman unik berbentuk huruf U. Di tengah kampung, berdiri batu-batu megalitik yang disusun tegak dan berfungsi sebagai pusat aktivitas adat serta simbol kepercayaan masyarakat setempat.

Kampung Bena diyakini telah berdiri sejak sekitar 1.200 tahun lalu. Hingga kini, kampung ini dikenal sebagai salah satu kampung adat paling terawat di Flores. Rumah-rumah adatnya dibangun dari batu megalitik dengan atap alang-alang dan dikenal dengan sebutan Sa’o.

Masyarakat Bena meyakini Gunung Inerie sebagai tempat bersemayam Dewa Yeta, sosok pelindung kampung. Keyakinan tersebut tercermin dalam tata ruang kampung yang menghadap langsung ke arah gunung.

Di Kampung Bena terdapat sekitar 45 rumah adat yang dihuni oleh sembilan suku, yakni Dizi, Dizi Azi, Wahto, Deru, Lalulewa, Deru Solamae, Ngada, Khopa, dan Ago. Setiap suku menempati posisi rumah yang berbeda, dengan ketinggian lantai yang menandakan status dan peran sosial masing-masing.

Di bagian tengah kampung berdiri bangunan sakral bernama bhaga dan ngadhu. Bhaga berbentuk rumah kecil tanpa penghuni yang melambangkan nenek moyang perempuan. Sementara ngadhu berupa tiang tunggal beratap ijuk yang menjadi simbol nenek moyang laki-laki. Tiang ngadhu juga berfungsi sebagai tempat menggantung hewan kurban saat upacara adat berlangsung.

Akses jalan menuju Kampung Bena relatif baik dan dapat dilalui kendaraan roda dua maupun roda empat. Meski terdapat beberapa tanjakan dan tikungan, perjalanan terasa menyenangkan berkat pemandangan pegunungan, sawah, hingga garis pantai di kejauhan.

Dari Kota Bajawa, perjalanan darat menuju Kampung Bena memakan waktu sekitar 30-40 menit. Jika berangkat dari Bandara Soa, waktu tempuh sekitar satu jam. Kendaraan hanya dapat diparkir di area parkir yang telah disediakan, selanjutnya pengunjung berjalan kaki beberapa menit menuju area kampung.

Tiket masuk Kampung Bena dipatok Rp 20.000 per orang untuk wisatawan domestik dan Rp 25.000 per orang untuk wisatawan mancanegara. Pengunjung juga dikenakan biaya parkir Rp 5.000 per kendaraan.

Sebelum masuk, wisatawan diminta mengisi buku tamu dan meminjam selendang khas sebagai bentuk penghormatan terhadap adat setempat.

Agar kunjungan lebih nyaman dan berkesan, wisatawan disarankan datang pada pagi atau sore hari untuk mendapatkan pencahayaan terbaik saat berfoto. Gunakan pakaian hangat karena suhu di kawasan ini bisa cukup dingin, terutama pada malam dan pagi hari.

Kenakan alas kaki yang nyaman karena sebagian besar area kampung didominasi bebatuan. Siapkan uang tunai karena fasilitas pembayaran non-tunai masih terbatas. Yang terpenting, hormati adat istiadat setempat dan jaga sikap selama berada di kawasan kampung.

Dengan latar megah Gunung Inerie, suasana yang tenang, tradisi yang tetap hidup, serta keramahan warganya, Kampung Bena menjadi contoh nyata bagaimana kearifan lokal mampu bertahan di tengah arus perubahan zaman. Mengunjungi Bena bukan hanya perjalanan wisata, tetapi juga perjalanan memahami warisan budaya Nusantara.

Jejak Kampung Megalitik Tertua di Flores

Akses, Tiket Masuk, dan Cara Menuju Kampung Bena

Tips Berkunjung ke Kampung Bena