Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Nusa Tenggara Barat (NTB) menyoroti pengalokasian dana bagi hasil (DBH) tambang dan cukai hasil tembakau mencapai ratusan miliar di NTB yang tidak tepat sasaran. Fitra menyayangkan DBH tidak pernah menyentuh program untuk menekan angka kemiskinan dan angka putus sekolah di NTB.
Direktur Fitra NTB Ramli Ernanda mengatakan sebagian besar dana yang seharusnya menjadi napas bagi petani, nelayan, dan masyarakat kecil justru berbelok arah ke program-program yang jauh dari peruntukan idealnya.
Ramli mengatakan total DBH Pajak Provinsi NTB tahun 2025 mencapai Rp 740,4 miliar, dengan komposisi Pajak Penghasilan (PPH) Rp 77 miliar, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp 52 miliar, serta Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) sebesar Rp 610 miliar.
Namun, alokasi dana yang besar itu justru lebih banyak mengalir ke pos-pos yang tidak sesuai dengan aturan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 215/PMK.07/2021 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi DBH-CHT.
“Sekitar 31,2 persen atau Rp 50,9 miliar dari DBH-CHT digunakan untuk pembangunan dan rehabilitasi embung oleh Dinas PUPR,” kata Ramli dalam diskusi publik bertajuk Vox Populi yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Mataram pada Rabu (5/11/2025).
Selain itu 10,7 persen atau Rp 17,46 miliar DBH yang bersumber dari pajak tambang dan tembakau itu digunakan oleh Dinas Pertanian dan Perkebunan. Padahal dana ini bukan untuk proyek fisik, melainkan peningkatan kesejahteraan petani tembakau.
Berdasarkan UU, Ramli berujar, DBH-CHT sejatinya didesain untuk mendukung kesejahteraan petani tembakau, peningkatan kualitas bahan baku, diversifikasi tanaman, serta peningkatan kesehatan masyarakat akibat dampak konsumsi rokok. Tetapi, di NTB, arah penggunaan dana ini tampak kabur.
Fitra NTB mencatat sejumlah belanja tidak sesuai pada alokasi APBD NTB tahun 2025 seperti perjalanan dinas senilai Rp 3,06 miliar, honorarium Rp 687 juta, dan belanja alat tulis kantor (ATK) sebesar Rp 465 juta.
Lebih parah lagi, ada sekitar Rp 4,9 miliar atau 3 persen dari total DBH-CHT sama sekali tidak terlacak penggunaannya dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) 2025.
“Dana itu seharusnya untuk masyarakat, bukan untuk gaji pegawai atau urusan administrasi kantor. Gaji pegawai bisa diambil dari pendapatan asli daerah (PAD), sedangkan DBH harus langsung dirasakan oleh rakyat,” tegasnya.
Lebih lanjut, Ramli menyebut bahwa porsi terbesar justru diterima oleh sektor lain yang tidak langsung menyentuh petani. Sektor kesehatan menerima 49,6 persen atau Rp 80,78 miliar, sementara program kesejahteraan masyarakat nonbantuan menghabiskan 42,3 persen atau Rp 68,97 miliar.
Ramli menegaskan bahwa jika seluruh dana bagi hasil, termasuk DBHCHT, pajak, dan tambang yang totalnya hampir Rp 2 triliun di setiap pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah Provinsi NTB digunakan dengan benar, maka banyak persoalan pembangunan di NTB bisa selesai.
“Kita mulai dari hal-hal kecil. Jangan lagi DBH-CHT dipakai untuk beli perahu atau pelatihan-pelatihan seremonial. Gunakan untuk membantu petani, memperbaiki lingkungan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat,” katanya.
Musababnya, jumlah tenaga kerja di Pemprov NTB sudah terlalu banyak yang menyebabkan belanja pegawai melebihi ambang batas yang diatur oleh pemerintah pusat sebesar 30 persen dari APBD.
“Belanja pegawai kita di Pemprov NTB telah mencapai angka 33 persen untuk belanja pegawai tersebut. Tenaga honorer kita juga banyak, itu masalah dari pemerintah sebelumnya yang tidak bagus pola rekrutmen pegawainya,” sebutnya.
Tak hanya itu, Fahrurrozi juga menjelaskan bahwa penggunaan dana DBH untuk infrastruktur seperti jalan pertanian, saluran irigasi, juga sangat penting untuk menunjang produktivitas petani dalam mencapai salah satu triple agenda Gubernur NTB, yakni ketahanan pangan.
Fahrurrozi juga mengingatkan bahwa pada 2026 NTB akan menghadapi tantangan besar akibat penurunan drastis DBH dari sekitar Rp 850 miliar pada 2025 menjadi hanya Rp 178 miliar.
Penurunan itu disebabkan antara lain kebijakan pengetatan ekspor sektor minerba dan meningkatnya utang pemerintah pusat yang kini menembus Rp 1.200 triliun.
“Korbannya ya daerah, termasuk NTB. Pemerintah pusat memotong dana transfer untuk menutup defisit. Tapi justru karena itu, penggunaan dana yang tersisa harus benar-benar efisien dan tepat sasaran,” tutur Ketua DPW Partai Gelora NTB itu.
Fahrurrozi juga menilai persoalan DBH bukan hanya soal besaran dana, tetapi soal pengawasan publik. Ia menekankan pentingnya pengawasan bersama terhadap pengelolaan DBH agar tidak terjadi penyimpangan.
“Pemerintah kalau tidak diawasi juga jadi keenakan. Ini uang dari masyarakat, harus kembali ke masyarakat. Kita harus kawal bersama agar peruntukannya tepat,” pungkasnya.
Musababnya, jumlah tenaga kerja di Pemprov NTB sudah terlalu banyak yang menyebabkan belanja pegawai melebihi ambang batas yang diatur oleh pemerintah pusat sebesar 30 persen dari APBD.
“Belanja pegawai kita di Pemprov NTB telah mencapai angka 33 persen untuk belanja pegawai tersebut. Tenaga honorer kita juga banyak, itu masalah dari pemerintah sebelumnya yang tidak bagus pola rekrutmen pegawainya,” sebutnya.
Tak hanya itu, Fahrurrozi juga menjelaskan bahwa penggunaan dana DBH untuk infrastruktur seperti jalan pertanian, saluran irigasi, juga sangat penting untuk menunjang produktivitas petani dalam mencapai salah satu triple agenda Gubernur NTB, yakni ketahanan pangan.
Fahrurrozi juga mengingatkan bahwa pada 2026 NTB akan menghadapi tantangan besar akibat penurunan drastis DBH dari sekitar Rp 850 miliar pada 2025 menjadi hanya Rp 178 miliar.
Penurunan itu disebabkan antara lain kebijakan pengetatan ekspor sektor minerba dan meningkatnya utang pemerintah pusat yang kini menembus Rp 1.200 triliun.
“Korbannya ya daerah, termasuk NTB. Pemerintah pusat memotong dana transfer untuk menutup defisit. Tapi justru karena itu, penggunaan dana yang tersisa harus benar-benar efisien dan tepat sasaran,” tutur Ketua DPW Partai Gelora NTB itu.
Fahrurrozi juga menilai persoalan DBH bukan hanya soal besaran dana, tetapi soal pengawasan publik. Ia menekankan pentingnya pengawasan bersama terhadap pengelolaan DBH agar tidak terjadi penyimpangan.
“Pemerintah kalau tidak diawasi juga jadi keenakan. Ini uang dari masyarakat, harus kembali ke masyarakat. Kita harus kawal bersama agar peruntukannya tepat,” pungkasnya.
