Cerita Penyintas Bom Bali Belum Dapat Kompensasi, Terkendala Rekam Medis

Posted on

Sidang pleno putusan perkara Nomor 103/PUUXXI/2023 Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan batas waktu pengajuan kompensasi bagi korban terorisme diperpanjang hingga 22 Juni 2028. Putusan itu digedok majelis hakim MK karena masih ada korban teroris yang belum mendapat dana kompensasi.

Kini, perpanjangan batas waktu pengajuan kompensasi korban teroris, mulai disosialisasikan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Pengajuan kompensasi untuk korban bom Bali I dan bom Bali II juga mulai kembali diupayakan para komunitas dan yayasan penyintas.

Ketua Yayasan Penyintas Indonesia, Ni Luh Erniati, mengatakan ada 30 orang penyintas Bom Bali I dan Bom Bali II. Dari jumlah itu, sebanyak tiga orang penyintas yang hingga kini belum mendapat dana kompensasi dari pemerintah.

“Ada 30 orang (penyintas). Ada yang belum (dapat dana kompensasi). Ada dua orang yang belum,” kata Erniati dihubungi infoBali, Kamis (17/7/2025).

Erniati mengatakan dua penyintas itu adalah warga Singaraja dan dari luar Bali. Mereka mengalami luka ringan saat dua bom meledak di Sari Club dan sekitaran kantor Konsulat Jenderal Amerika Serikat.

Karena hanya menderita luka ringan, pihak rumah sakit kesulitan untuk menerbitkan rekam medis. Erniati mengatakan hampir tidak ada bekas luka saat mereka menjalani pemeriksaan medis di rumah sakit.

“Kendalanya itu, mereka nggak bisa mendapatkan bukti-bukti rekam medis. Jadi, waktu kejadian, lukanya nggak parah. Setelah dirawat di rumah sakit, nggak lama langsung pulang,” kata Erniati.

“Rekam medisnya nggak punya. Lukanya pun sudah nggak ada,” imbuhnya.

Meski fisik sudah sembuh, luka mental dan trauma masih membekas di benak kedua penyintas itu. Ernita mengatakan dua rekan penyintasnya itu hingga kini masih enggan berkunjung ke Denpasar.

“Mereka takut. Trauma. Nggak mau lagi ke Denpasar,” tuturnya.

Ketua Komunitas Penyintas Bom Bali Isana Dewata, Thiolina Marpaung, setali tiga uang. Meski dana kompensasi korban bom Bali sudah didapat semua anggota komunitasnya, Thiolina masih mendapat aduan dari tiga penyintas tiga hari lalu.

Lina, sapaan akrabnya, mendapat aduan tiga penyintas bom Bali I yang justru belum mengetahui informasi soal dana kompensasi. Tiga penyintas itu bukan anggota komunitas Isana Dewata.

“Jadi, mereka banyak yang nggak dengar (soal kompensasi korban bom Bali). Padahal mereka tinggal di Denpasar,” kata Lina.

Tak hanya soal informasi yang tidak tersampaikan. Tiga penyintas warga Bali itu terkendala persyaratan administrasi untuk mendapatkan surat ketetapan (surtap) dari BNPT sebelum dana kompensasinya dapat dicairkan.

Adapun, salah satu syaratnya adalah menyertakan bukti berupa rekam jejak medis. Setelah menyertakan bukti rekam medis dan syarat administrasi lainnya terpenuhi, Surtap terhadap penyintas itu dapat diterbitkan.

“Jadi, kata mereka, belum bisa menyiapkan dokumen dari rumah sakit. Persyaratan lain juga banyak,” katanya.

Surtap BNPT bersifat seperti sertifikat yang menyatakan seseorang secara benar menjadi korban aksi terorisme. Ada kategori dan penilaian yang dilakukan BNPT dan LPSK sebelum yang bersangkutan dinyatakan sebagai korban terorisme dan layak mendapat dana kompensasi.

“Tiga penyintas itu menderita luka berat, ada sanak keluarganya yang tewas saat bom meledak. Ada juga yang luka ringan,” ujar Lina.

Karenanya, dirinya meminta LPSK dan BNPT untuk perpanjang jadwal pengajuan kompensasinya. Selain itu, Lina berharap ada bantuan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali terkait rekam jejak medis.

“Karena (peristiwanya) sudah lama. Jadi, kalau pun mereka pergi ke rumah sakit minta dokumen, pihak rumah sakit juga nggak akan bisa. Mungkin dokumennya sudah dihanguskan,” ujarnya.

Kepala Subdirektorat Pemulihan Korban Aksi Terorisme BNPT, Rahel, mengatakan ada dokumen pendukung yang wajib disiapkan penyintas. Salah satunya adalah rekam jejak medis.

Kemudian, bukti pendukung lain adalah formulir permohonan Surtap yang sudah diisi, fotokopi KTP, Kartu Keluarga (KK), rekam medis, dan bukti peristiwa. Laku, bukti berupa pemberitaan yang namanya tercantum dalam daftar korban.

“Ada foto luka akibat peristiwa, apakah pernah di-BAP (Berita Acara Perkara/diinterogasi polisi). Lalu ada bukti kerugiannya. Foto-foto luka akibat peristiwa dan bukti pengobatan,” kata Rahel.

Itu semua adalah bukti yang harus disertakan bagi penyintas yang dikategorikan korban langsung. Bagi penyintas yang dikategorikan korban tidak langsung atau hanya sanak keluarganya yang terdampak, wajib menyertakan surat keterangan ahli waris dan surat keterangan kematian.

Hanya, Rahel mengakui sejumlah dokumen rekam medis para penyintas sudah dimusnahkan oleh pihak rumah sakit. Informasi itu didapat dari Kementerian Kesehatan.

“Ini jadi PR (pekerjaan rumah) kita bersama. Kami masih diskusi soal bagaimana menindaklanjuti itu,” katanya.

Rahel mengatakan batas waktu pengajuan dana kompensasi dimulai bagi para penyintas saat peristiwa Bom Bali I hingga aksi bom bunuh diri di Mapolda Riau. Korban aksi terorisme yang terjadi pada 2002 hingga 2018 adalah penyintas yang layak mengajukan kompensasi.

Diberitakan sebelumnya, BNPT mencatat sebanyak 917 penyintas yang telah mendapat Surtap dan pencairan dana kompensasi. Dari jumlah tersebut, penyintas aksi bom di Bali sebanyak 128 orang.

Dari 128 penyintas di Bali, sebanyak 71 orang belum diberi dana kompensasi. Mereka adalah korban Bom Bali I pada 2002. Saat itu, belum nomor induk kependudukan (NIK) yang tercantum di KTP. Hal itu menyulitkan petugas melakukan pencatatan data diri korban.