Raisa Andriana dan Hamish Daud akhirnya buka suara usai kabar keretakan rumah tangga mereka ramai dibicarakan di media sosial. Dalam pernyataan bersama, pasangan yang menikah pada 2017 itu membenarkan bahwa mereka telah berpisah secara baik-baik.
Keduanya menegaskan keputusan ini diambil demi kebaikan putri mereka, Zalina Raine Wyllie, serta meminta publik menghormati privasi keluarga.
“Hubungan kami tetap baik, meski berubah. Yang tidak akan berubah adalah cinta kami kepada Zalina. Sudah menjadi tugas seumur hidup kami untuk menjaga dan merawat putri kami,” kata Raisa dan Hamish dalam pernyataan tertulis.
Mereka menambahkan akan tetap hadir bersama sebagai orang tua.
“Kami akan terus hadir bersama sebagai co-parents untuk memastikan dia tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih sayang,” lanjut keduanya.
Istilah co-parenting kerap muncul dalam kasus perceraian publik, termasuk yang dijalani Raisa dan Hamish.
Dikutip infoHealth dari Very Well Mind, co-parenting adalah pola pengasuhan bersama di mana kedua orang tua tetap berbagi tanggung jawab membesarkan anak, meski sudah tidak lagi menjalin hubungan romantis.
Penelitian menunjukkan, konflik berkepanjangan antara orang tua setelah perceraian dapat memengaruhi kondisi emosional anak. Anak bisa lebih rentan terhadap stres, kesulitan beradaptasi, hingga menurunnya rasa percaya diri.
Karena itu, pola co-parenting yang sehat menjadi penting agar anak tetap tumbuh di lingkungan stabil dan penuh dukungan.
Psikolog membagi co-parenting menjadi tiga tipe utama:
Orang tua sering berselisih, jarang berkomunikasi, dan menerapkan aturan berbeda di rumah masing-masing. Anak sering terjebak di tengah konflik, sehingga berisiko mengalami kecemasan atau gangguan perilaku.
Kedua orang tua mampu bekerja sama, rutin berkomunikasi tentang hal-hal penting, dan menempatkan kepentingan anak di atas ego pribadi. Ini merupakan pola yang paling sehat dan ideal karena memberikan stabilitas serta dukungan emosional bagi anak.
Masing-masing orang tua menjalankan pengasuhan sendiri tanpa banyak interaksi. Pola ini bisa mengurangi konflik, tetapi kadang membuat anak kebingungan karena perbedaan aturan di rumah.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
Hubungan co-parenting yang baik biasanya ditandai dengan adanya kesepakatan yang jelas antara kedua pihak, meliputi:
Kesepakatan ini membantu anak merasa aman dan tidak terjebak dalam konflik antar orang tua.
Berikut saran dari sejumlah psikolog keluarga untuk menjalankan co-parenting yang sehat:
Gunakan cara yang sopan dan profesional. Fokus pada kebutuhan anak, bukan masa lalu.
Jadwal bisa disesuaikan selama keputusan tetap mengutamakan kepentingan anak.
Selama tidak membahayakan anak, biarkan setiap orang tua menjalankan perannya sesuai gaya masing-masing.
Anak akan merasa aman jika melihat kedua orang tuanya bisa berinteraksi dengan tenang.
Gunakan waktu ketika anak bersama orang tua lain untuk beristirahat, beraktivitas positif, atau mengembangkan diri.
Selama pasangan baru menghormati hubungan anak dengan kedua orang tuanya, situasi ini bisa dikelola dengan baik.
Co-parenting bukan tentang memperbaiki masa lalu, melainkan membangun masa depan yang sehat bagi anak.
Kisah Raisa dan Hamish menunjukkan bahwa perceraian tak selalu identik dengan permusuhan. Dengan komunikasi yang baik, saling menghormati, dan komitmen pada anak, keluarga tetap bisa berjalan meski dalam bentuk berbeda.
Pada akhirnya, perceraian tidak mengakhiri keluarga-hanya mengubah bentuknya.
Apa Itu Co-Parenting?
Jenis-Jenis Co-Parenting
1. Co-Parenting Konfliktual
2. Co-Parenting Kooperatif
3. Co-Parenting Paralel
Ciri Co-Parenting yang Sehat
Tips Sukses Jalani Co-Parenting
1. Komunikasi Terbuka dan Rutin
2. Buat Rencana Pengasuhan yang Fleksibel
3. Hormati Gaya Pengasuhan Masing-masing
4. Tetap Positif Saat Bertemu di Sekolah atau Acara Anak
5. Manfaatkan Waktu Sendiri untuk Pulih
6. Berikan Ruang bagi Pasangan Baru
7. Fokus pada Masa Depan Anak
Psikolog membagi co-parenting menjadi tiga tipe utama:
Orang tua sering berselisih, jarang berkomunikasi, dan menerapkan aturan berbeda di rumah masing-masing. Anak sering terjebak di tengah konflik, sehingga berisiko mengalami kecemasan atau gangguan perilaku.
Kedua orang tua mampu bekerja sama, rutin berkomunikasi tentang hal-hal penting, dan menempatkan kepentingan anak di atas ego pribadi. Ini merupakan pola yang paling sehat dan ideal karena memberikan stabilitas serta dukungan emosional bagi anak.
Masing-masing orang tua menjalankan pengasuhan sendiri tanpa banyak interaksi. Pola ini bisa mengurangi konflik, tetapi kadang membuat anak kebingungan karena perbedaan aturan di rumah.
Hubungan co-parenting yang baik biasanya ditandai dengan adanya kesepakatan yang jelas antara kedua pihak, meliputi:
Kesepakatan ini membantu anak merasa aman dan tidak terjebak dalam konflik antar orang tua.
Berikut saran dari sejumlah psikolog keluarga untuk menjalankan co-parenting yang sehat:
Gunakan cara yang sopan dan profesional. Fokus pada kebutuhan anak, bukan masa lalu.
Jadwal bisa disesuaikan selama keputusan tetap mengutamakan kepentingan anak.
Selama tidak membahayakan anak, biarkan setiap orang tua menjalankan perannya sesuai gaya masing-masing.
Anak akan merasa aman jika melihat kedua orang tuanya bisa berinteraksi dengan tenang.
Gunakan waktu ketika anak bersama orang tua lain untuk beristirahat, beraktivitas positif, atau mengembangkan diri.
Selama pasangan baru menghormati hubungan anak dengan kedua orang tuanya, situasi ini bisa dikelola dengan baik.
Co-parenting bukan tentang memperbaiki masa lalu, melainkan membangun masa depan yang sehat bagi anak.
Kisah Raisa dan Hamish menunjukkan bahwa perceraian tak selalu identik dengan permusuhan. Dengan komunikasi yang baik, saling menghormati, dan komitmen pada anak, keluarga tetap bisa berjalan meski dalam bentuk berbeda.
Pada akhirnya, perceraian tidak mengakhiri keluarga-hanya mengubah bentuknya.
