Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menempati peringkat pertama angka pernikahan anak tertinggi di Indonesia. Data ini diungkapkan oleh United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF).
Hal itu disampaikan Muhammad Zubedy, perwakilan UNICEF Indonesia, saat menghadiri acara kampanye pencegahan pernikahan anak bertajuk Gawe Gubuq di Desa Lendang Nangka, Kecamatan Masbagik, Lombok Timur, Selasa (20/5/2025).
“Di NTB angkanya paling tinggi terkait pernikahan anak di Indonesia,” kata Zubedy saat ditemui infoBali seusai acara.
UNICEF mencatat, sepanjang 2024 terjadi sekitar 6.200 kasus pernikahan anak di NTB. Jumlah itu setara dengan 15 persen dari total kasus pernikahan anak yang berhasil dihimpun UNICEF di seluruh Indonesia, yakni 618.000 kasus.
“Ini perkiraan kami berdasarkan kajian, akan tetapi sampelnya masih kecil. Kemungkinan yang belum tercatat lebih banyak lagi,” ujar Zubedy.
Zubedy menyebut pernikahan anak masih menjadi salah satu penyebab utama kemiskinan dan kesenjangan sosial, karena pelaku pernikahan umumnya belum matang secara fisik maupun mental untuk berumah tangga.
Penyebab tingginya pernikahan anak, menurut Zubedy, beragam. Mulai dari minimnya pemahaman orang tua tentang kesehatan reproduksi, pola pengasuhan, hingga rendahnya pendidikan.
“Pengetahuan yang masih rendah tentang dampaknya, pola asuh, dan juga faktor pendidikan orang tua juga mempengaruhi tingginya angka pernikahan usia anak,” ujarnya.
Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.
Ia mengungkapkan, banyak kasus pernikahan anak tidak tercatat secara resmi di negara karena tidak melalui Pengadilan Agama. Mayoritas pasangan justru memilih menikah siri.
“Mereka yang mengajukan dispensasi nikah di Pengadilan Agama ada juga yang tidak disetujui. Akhirnya banyak yang memilih untuk menikah siri sehingga tidak tercatat di data pemerintah,” kata Zubedy.
Terhalang Akses Layanan Publik
Zubedy menambahkan, praktik nikah siri juga berdampak panjang. Salah satunya adalah tidak bisa mengakses layanan kesehatan hingga bantuan sosial, karena pernikahan mereka tidak diakui secara hukum dan tidak tercatat di administrasi kependudukan.
Menanggapi kondisi tersebut, Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) NTB, Sinta Agathia Iqbal, menyampaikan keprihatinannya.
“Tentunya bukan berita yang menggembirakan. Kami merasa prihatin masih ada saja praktik pernikahan anak di NTB, padahal dari regulasi sudah melarang hal tersebut,” ujar Sinta kepada wartawan.
Ia menilai, nikah siri masih dianggap solusi oleh sebagian masyarakat, padahal berdampak buruk dalam jangka panjang.
“Ini bukan saja tugas pemerintah. Tapi yang lebih berperan kami harapkan dari masyarakat itu sendiri, begitu juga dengan lembaga-lembaga pemerhati anak kami harapkan juga ikut terlibat,” imbuhnya.