Terungkapnya ratusan siswa SMP yang tidak bisa membaca di Buleleng, Bali, menuai respons Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti. Menurutnya, jumlah tersebut hanya segelintir dari puluhan ribu siswa SMP di Buleleng.
“Itu kami sudah komunikasi dengan Dinas Pendidikan di Buleleng. Jumlahnya itu ada sekitar 400 dari sekian puluh ribu murid, jadi presentasenya itu 0,0011% dan banyak mereka yang mengalami masalah itu,” kata Mu’ti di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (22/4/2025), dikutip dari infoNews.
Mu’ti mengatakan sebagian siswa tersebut tidak bisa membaca lantaran mengalami disleksia hingga berkebutuhan khusus. Selain itu, ada pula mereka yang berasal dari keluarga tidak mampu.
“Sebagian dari anak-anak yang memang mengalami disleksia, anak-anak yang berkebutuhan khusus dan memang anak-anak dari keluarga yang kurang mendapatkan perhatian dengan baik. Sebagian karena ada alasan motivasi belajar yang rendah,” ujar Mu’ti.
Kemendikdasmen, dia berujar, telah berkomunikasi dengan Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Buleleng terkait hal tersebut. Nantinya, pendampingan terhadap siswa yang belum bisa membaca akan ditingkatkan.
“Jadi kami sudah komunikasi dengan dinas pendidikan dan pihak terkait juga sudah membantu melayani murid-murid yang dianggap atau yang kemampuannya memang dianggap rendah. Maka, langkah itu sudah ditindaklanjuti,” ujar akademisi kelahiran 1968 itu.
Sebelumnya, ratusan siswa SMP belum bisa membaca dengan lancar sebelumnya diungkapkan oleh Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng I Made Sedana. Berdasarkan data yang dihimpun dari Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP Buleleng, terdapat sekitar 400-an siswa SMP yang kesulitan membaca.
Sedana mengatakan faktor utama persoalan ini bisa terjadi karena kebijakan naik kelas otomatis atau program tuntas tanpa mengukur penguasaan kompetensi dasar siswa.
Artikel ini sudah tayang di infoNews, baca selengkapnya .