Tantangan Penerapan PLTS Atap dalam Transisi Energi Bersih di Bali

Posted on

Ketua Tim Percepatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap Bali, Ida Ayu Dwi Giriantari, menjelaskan skema PLTS atap yang kini terus didorong sebagai bagian dari transisi menuju energi bersih. Meski dinilai efisien dan ramah lingkungan, penerapan PLTS atap di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan, mulai dari persepsi publik hingga kondisi teknis bangunan.

“Selama ini banyak kesalahpahaman di lapangan, masyarakat menganggap PLTS tidak merusak bangunan mereka,” ujar Giriantari dalam Sosialisasi dan Skema Pemasangan PLTS Atap di Art Center, Denpasar, Kamis (15/5/2025).

Secara prinsip, jelas Giriantari, PLTS bekerja dengan menyerap radiasi matahari menggunakan panel surya berbahan silikon (silika) lalu berevolusi menjadi energi listrik. Sistem ini terdiri dari beberapa komponen utama, yakni inverter yang mengubah arus searah (DC) menjadi arus bolak-balik (AC) dan baterai yang berfungsi menyimpan energi.

“Tidak semua PLTS membutuhkan baterai. Tetapi, kalau ada, akan jauh lebih baik karena bisa menyimpan kelebihan energi,” jelas Guru Besar Program Studi Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Udayana (Unud), itu.

Perempuan bergelar profesor itu memaparkan tiga jenis PLTS atap yang umum digunakan. Pertama ada skema on grid yang terhubung langsung ke jaringan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Energi berlebih di siang hari akan masuk ke PLN. Sebaliknya, PLN akan menyuplai saat PLTS tidak mencukupi.

Kedua, terdapat skema off grid. Jenis PLTS ini tidak terhubung ke PLN. Walhasil, seluruh energi disimpan dalam baterai. Sistem ini cocok untuk cadangan energi, tetapi memerlukan perhitungan kapasitas baterai yang cermat agar dapat memenuhi kebutuhan listrik 24 jam.

Terakhir ada sistem hybrid, yaitu kombinasi antara on grid dan baterai. Meski terhubung ke PLN, sistem ini tetap dilengkapi baterai sebagai cadangan.

Menurut Giriantari, ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum membangun PLTS atap, seperti kebutuhan energi, luas dan kondisi atap bangunan, serta potensi bayangan dari pohon atau antena.

“Banyak saya lihat asal pasang. Padahal, ada bayangan dari bangunan tinggi di sebelahnya, jadi tidak efektif,” terang Giriantari.

Ia juga menyoroti sejumlah kelebihan atap PLTS, yakni efisiensi energi dan ruang, penghematan biaya, ramah lingkungan hingga menambah nilai properti dan kebanggaan dalam menggunakan energi hijau. Namun, terdapat sejumlah tantangan teknis dan non-teknis dalam penerapan PLTS.

Pertama, perlu memperhatikan kondisi atap, khususnya pada bangunan tua. Sebab, PLTS atap memiliki umur 20-25 tahun dan berat sekitar 20 kg per meter persegi. Walhasil, pemasangan panel surya memerlukan atap yang kokoh dan tahan lama.

Tantangan kedua adalah kebijakan nasional yang sering berubah dan menimbulkan ancaman bagi pengembang dan konsumen. Ketiga, biaya awal yang tinggi juga menjadi tantangan. Meski sudah ada skema pembiayaan tanpa biaya awal oleh pengembang, tetapi penghematan dari skema ini biasanya lebih kecil.

Tantangan selanjutnya adalah soal kondisi cuaca yang tidak menentu. Hal ini dapat diatasi dengan baterai sehingga dapat menyimpan energi, tetapi membuat investasi lebih mahal.

Kemudian, panel surya memerlukan pembersihan rutin agar tetap optimal. Keterbatasan sumber daya manusia (SDM) juga menjadi kendala meskipun beberapa pengembang menyediakan layanan perawatan.