Viral di media sosial pernikahan anak sekolah menengah pertama (SMP) dengan mempelai pria yang masih sekolah menengah kejuruan (SMK). Pernikahan yang digelar di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), tersebut menjadi sorotan hingga berujung dipolisikan.
Pasangan yang menikah masing-masing berinisial SMY (15) perempuan asal Desa Sukaraja, Kecamatan Praya Timur, dan pria berinisial SR (17) asal Desa Braim, Kecamatan Praya Tengah.
Berikut fakta-fakta pernikahan anak di Lombok berujung orang tua dipolisikan.
Gelagat SMY dalam video prosesi nyongkolan atau pernikahan adat Sasak yang beredar luas juga menimbulkan keprihatinan. Dalam video yang diunggah akun Facebook @Dyiok Stars, tampak mempelai perempuan berjoget sambil berjalan menuju kuade atau pelaminan. Ia ditandu oleh dua perempuan dewasa. Tingkah lakunya itu dinilai janggal oleh sejumlah warganet.
“Org (orang) stres suruh nikah gimana ceritanya,” komentar akun @Dede Zahra Zahra di kolom unggahan video tersebut, dikutip infoBali, Sabtu (24/5/2025).
Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram Joko Jumadi menyoroti gelagat mempelai perempuan yang tampak tidak biasa dalam video yang viral tersebut. Namun, ia menegaskan bahwa pihaknya belum dapat menyimpulkan kondisi psikologis anak tersebut tanpa pemeriksaan medis.
“Nanti. Kami belum bisa memastikan itu. Nanti pada proses pemeriksaan kepolisian. Kita tidak bisa menjustifikasi kenapa-kenapa, semua harus melalui pemeriksaan tenaga medis, dan itu akan kita lakukan,” jelasnya.
Joko melaporkan kasus dugaan pernikahan anak tersebut ke Polres Lombok Tengah. Pelaporan ini dilakukan setelah video prosesi nyongkolan atau pernikahan adat Sasak dua remaja viral di media sosial.
“Hari ini akhirnya dari LPA Kota Mataram telah melakukan pelaporan pengaduan perkawinan anak yang terjadi di salah satu desa di Lombok Tengah,” kata Ketua LPA Kota Mataram, Joko Jumadi, saat ditemui di Polres Lombok Tengah, Sabtu (24/5/2025).
Joko menjelaskan, laporan ditujukan kepada semua pihak yang diduga terlibat dalam memfasilitasi pernikahan anak tersebut, termasuk orang tua dan penghulu.
“Yang dilaporkan adalah pihak-pihak yang kemudian memfasilitasi perkawinan anak ini. Di situ pasti ada orang-orang yang terlibat dalam pernikahannya siapa. Bisa saja orang tua, bisa saja penghulu yang menikahkan,” ujarnya.
Pernikahan itu disebut sempat dicegah oleh perangkat desa dari kedua belah pihak. Namun, upaya tersebut gagal karena keluarga tetap bersikukuh.
“Kalau dari informasi awal, Kades dan Kadus sudah berusaha melakukan pencegahan. Tetapi para pihak ini tetap ngotot untuk dinikahkan. Sehingga yang kita soroti di sini orang tua, kami belum tahu apakah ada penghulunya,” lanjutnya.
Joko menyebutkan pernikahan tersebut tidak terjadi secara instan. Sebelumnya, sudah ada beberapa upaya kawin lari sejak April 2025. Bahkan, salah satu upaya sempat dilerai pemerintah desa.
“April itu sudah ada upaya pernikahan, tetapi saat itu dibela. Kemudian selang satu minggu setelahnya lagi ada upaya pernikahan lagi. Sampai terakhir di bulan Mei ini ada pernikahan,” ungkapnya.
Ia juga menerima informasi bahwa dalam pelarian terakhir, kedua anak tersebut sempat dibawa ke Pulau Sumbawa selama dua hari. Karena itu, pihak keluarga akhirnya pasrah dan membiarkan pernikahan dilangsungkan.
“Infonya seperti itu (dibawa ke Sumbawa), tetapi nanti dilakukan pendalaman oleh pihak kepolisian. Saya masih umum sekali ini,” tegas Joko.
Joko menjelaskan alasan di balik laporannya ke Polres Lombok Tengah. Ia menyebut langkah tersebut merupakan bentuk edukasi kepada masyarakat mengenai larangan dan sanksi hukum dalam pernikahan anak.
“Kami melakukan pelaporan ini sebagai bagian dari edukasi kepada masyarakat bahwa memperkawinkan anak itu ada loh pasalnya. Pada pasal 10 UU TPKS,” kata Joko.
Praktisi hukum dari Universitas Mataram (Unram) itu khawatir praktik serupa bisa terjadi di daerah lain di NTB. Ia menilai, pelaporan ini penting untuk memberikan pemahaman hukum dan menciptakan efek jera.
Joko juga menyebut telah ada upaya pencegahan dari pemerintah desa terkait pernikahan anak yang viral tersebut. Namun, keinginan kuat dari pihak keluarga membuat pernikahan tetap berlangsung.
Ia juga menyinggung kasus serupa di Lombok Barat, di mana orang tua mempelai menjadi terdakwa karena menikahkan anak di bawah umur. Kasus tersebut kini telah memasuki tahap persidangan.
“Kalau itu (kasus di Lombok Barat) umurnya 17 sama 16 tahun. Terlapor yang menjadi terdakwa itu orang tua mempelai perempuan dan orang tua mempelai kaki,” imbuh Joko.
Joko menekankan bahwa pernikahan anak berdampak serius, tidak hanya dari sisi pendidikan dan ekonomi, tetapi juga kesehatan dan sosial. Misalnya berdampak putus sekolah, kemiskinan, stunting, hingga kematian ibu dan bayi. Bahkan, kasus kekerasan dalam rumah tangga dan prostitusi juga seringkali berakar dari perkawinan anak
Joko meminta pihak kepolisian untuk bekerja sama dengan lembaga perlindungan anak lainnya untuk memberikan pembinaan dan rehabilitasi terhadap anak-anak yang terlibat.