Pansus DPRD Jembrana Bahas Polemik Tanah Gilimanuk, Status HPL Aset Pemkab Jembrana

Posted on

Panitia Khusus (Pansus) DPRD Jembrana kembali menggelar rapat kerja terkait polemik tanah di Gilimanuk. Pembentukan pansus tanah hak pengelolaan lahan (HPL) Gilimanuk ini menjadi yang ketiga kalinya dalam lima tahun terakhir.

Kali ini, fokus utama Pansus adalah menindaklanjuti permohonan Bupati Jembrana untuk melepaskan status tanah Gilimanuk yang saat ini masih tercatat sebagai aset Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jembrana. Keputusan akhir terkait pembebasan aset itu kini berada di tangan DPRD Jembrana.

Ketua Pansus I Ketut Suastika alias Cohok menjelaskan pembahasan kali ini masih mengacu pada keputusan DPRD Jembrana. Saat rapat paripurna sebelumnya, dewan menyetujui kemungkinan status kepemilikan tanah Gilimanuk diubah menjadi sertifikat hak milik (SHM).

“Rapat hari ini membahas permohonan Bupati Jembrana untuk melepas status HPL atas tanah Gilimanuk. DPRD menyetujui permohonan tersebut secara prinsip dan mekanisme lanjutan akan dilakukan sesuai prosedur yang berlaku,” ujar Cohok ini ditemui infoBali seusai rapat di kantor DPRD Jembrana, Senin (14/4/2025).

Menurut Cohok, ada kekhawatiran tanah tersebut jatuh ke tangan investor atau menjadi status quo. Hal itu, dia berujar, perlu segera diantisipasi dengan diajukannya data pemohon dari masyarakat yang sudah lama menempati lahan tersebut. Data tersebut telah dilengkapi dengan bukti sewa dan bukti penguasaan lahan secara turun-temurun.

“Permohonan berasal dari sekitar dua ribu kepala keluarga yang mengajukan lahan seluas total 88 hektare. Rata-rata pengajuan hanya antara 3 sampai 4 are per keluarga itu jumlah maksimal yang bisa diajukan. Ini menunjukkan bahwa tanah tersebut memang dikuasai oleh masyarakat lokal,” papar Cohok.

Cohok menepis adanya praktik mafia tanah dalam proses tersebut. DPRD Jembrana, dia melanjutkan, berencana untuk tidak hanya memberikan SHM, tetapi juga menerbitkan persetujuan bangunan gedung (PBG) secara bersamaan.

“Kami tegaskan, di sini nantinya tidak ada mafia tanah di dalamnya dalam pengurusan pelepasan tanah tersebut. Kami juga berencana dengan memberikan SHM sekaligus kami juga memberikan PBG-nya sekaligus,” imbuhnya.

Terkait potensi hilangnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sewa lahan, Suastika menilai risiko tersebut dapat ditutupi dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Menurut dia, selama ini PAD Jembrana dari sewa lahan tersebut hanya Rp 284 juta per tahun.

“Itu pun yang tertagih baru Rp 150 juta. Jika tanah berubah menjadi SHM, maka pemerintah bisa langsung menarik PBB, yang nilai jangka panjangnya justru lebih tinggi,” jelas Cohok.

Cohok menegaskan SHM hanya akan diberikan kepada warga yang telah memiliki bukti sewa dan telah menempati lahan tersebut secara turun-temurun. “Tidak boleh ada warga yang baru datang tiba-tiba mengajukan permohonan. Data yang diajukan bersamaan dengan surat Bupati sudah memuat nama-nama yang berhak,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *