Komoditas pinang disebut menjadi salah satu penyumbang defisit terbesar neraca perdagangan Nusa Tenggara Timur (NTT). Daerah ini setidaknya harus membeli pinang dari luar daerah Rp 1 triliun per tahun.
Hal tersebut disampaikan Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena kepada awak media, Jumat (19/12/2025), di Aula El Tari Kupang. Ia menjelaskan, ketimpangan antara barang yang masuk dan keluar dari NTT menjadi persoalan utama perekonomian daerah.
“Barang yang keluar dari NTT hanya sekitar Rp 8 triliun sedangkan barang yang masuk mencapai Rp 59 triliun. Artinya (neraca pedagangan) kita defisit Rp 51 triliun, dan ini lebih besar dari APBD Provinsi NTT,” terang Laka Lena.
Ia mengatakan, salah satu komoditas yang bikin tekor itu berasal dari pembelian pinang dari luar daerah yang nilainya mencapai Rp 1 triliun per tahun. Padahal, menurutnya, komoditas tersebut bisa dibudidayakan di NTT.
“Saya pernah ketemu Gubernur Jambi. Dia bilang, terima kasih orang NTT. Saya kaya karena pinang yang kalian beli, padahal kita bisa tanam pinang sendiri,” sesalnya.
Laka Lena menilai, persoalan utama UMKM di NTT bukan terletak pada kemampuan produksi, melainkan minimnya akses pasar. Karena itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT menghadirkan NTT Mart sebagai solusi.
“UMKM kita produksi, tapi tidak punya pasar, karena itu kita buka pasarnya lebih dulu melalui NTT Mart. Jadi hasil produk setiap daerah, akan dipasarkan di NTT Mart,” imbuhnya.
Menurut politikus Partai Golkar tersebut, NTT Mart difungsikan sebagai pusat pemasaran program One Village One Product (OVOP). Seluruh produk UMKM dari desa dan kelurahan akan ditampilkan dalam etalase kuliner, kerajinan, tenun, kriya, dan fashion, yang dikembangkan ke dalam platform digital seperti Shopee, Tokopedia, atau Lazada versi NTT.
“NTT Mart adalah gerakan awal untuk membangun kepercayaan diri pelaku UMKM. Kalau pasar dibuka, produksi pasti mengikuti,” katanya.
Ia menambahkan, Dekranasda, PKK di tingkat perangkat desa, serta seluruh pelaku UMKM memiliki peran memastikan ketersediaan produk terus berlanjut.
“Produksi di desa-kelurahan tidak boleh terputus. Barang harus tetap ada, dan kualitas harus konsisten,” tambahnya.
Laka Lena menyebut, produk yang masuk ke NTT Mart mencakup kuliner, minuman, kerajinan, fashion, kriya, hingga berbagai jenis olahan rumah tangga. Ia menegaskan, masyarakat perlu meninggalkan pola penjualan bahan mentah dan beralih ke produk olahan bernilai tambah.
“Jantung pisang yang dijual Rp 5.000 bisa diolah jadi keripik Rp 25.000, nilai tambahnya sampai 50 kali lipat. Kita harus bekerja lebih cerdas,” katanya.
Ia juga menyinggung persoalan kemiskinan yang menurutnya tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan uang, melainkan pengelolaan keuangan yang kurang tepat.
“Pendeta, pastor, ustaz, dan pendamping desa harus bantu edukasi cara pakai uang yang benar, agar tidak habis untuk hal tidak produktif,” ujarnya.
Laka Lena mengungkapkan, hasil pertemuan tiga gubernur NTT, NTB, dan Bali mencatat total penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk NTT mencapai Rp 2,2 triliun dengan lebih dari 300 ribu penerima.
“Bunga KUR hanya 6 persen, disubsidi pemerintah pusat. Pemerintah kabupaten/kota berhak mengajukan UMKM penerima KUR, dan bank wajib terima jika syaratnya lengkap,” katanya.
Ia juga menegaskan, hampir separuh APBD Provinsi NTT dialokasikan untuk sektor pendidikan, dengan nilai sekitar Rp 2,7 triliun.
“SMA/SMK harus punya produk sendiri, One School One Product (OSOP). Produk sekolah wajib masuk NTT Mart. Komunitas hobi juga harus bikin Community Product. Intinya harus kreatif, inovatif dan produktif,” tegasnya.
KUR dan Peran Dunia Pendidikan
Menurut politikus Partai Golkar tersebut, NTT Mart difungsikan sebagai pusat pemasaran program One Village One Product (OVOP). Seluruh produk UMKM dari desa dan kelurahan akan ditampilkan dalam etalase kuliner, kerajinan, tenun, kriya, dan fashion, yang dikembangkan ke dalam platform digital seperti Shopee, Tokopedia, atau Lazada versi NTT.
“NTT Mart adalah gerakan awal untuk membangun kepercayaan diri pelaku UMKM. Kalau pasar dibuka, produksi pasti mengikuti,” katanya.
Ia menambahkan, Dekranasda, PKK di tingkat perangkat desa, serta seluruh pelaku UMKM memiliki peran memastikan ketersediaan produk terus berlanjut.
“Produksi di desa-kelurahan tidak boleh terputus. Barang harus tetap ada, dan kualitas harus konsisten,” tambahnya.
Laka Lena menyebut, produk yang masuk ke NTT Mart mencakup kuliner, minuman, kerajinan, fashion, kriya, hingga berbagai jenis olahan rumah tangga. Ia menegaskan, masyarakat perlu meninggalkan pola penjualan bahan mentah dan beralih ke produk olahan bernilai tambah.
“Jantung pisang yang dijual Rp 5.000 bisa diolah jadi keripik Rp 25.000, nilai tambahnya sampai 50 kali lipat. Kita harus bekerja lebih cerdas,” katanya.
Ia juga menyinggung persoalan kemiskinan yang menurutnya tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan uang, melainkan pengelolaan keuangan yang kurang tepat.
“Pendeta, pastor, ustaz, dan pendamping desa harus bantu edukasi cara pakai uang yang benar, agar tidak habis untuk hal tidak produktif,” ujarnya.
Laka Lena mengungkapkan, hasil pertemuan tiga gubernur NTT, NTB, dan Bali mencatat total penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk NTT mencapai Rp 2,2 triliun dengan lebih dari 300 ribu penerima.
“Bunga KUR hanya 6 persen, disubsidi pemerintah pusat. Pemerintah kabupaten/kota berhak mengajukan UMKM penerima KUR, dan bank wajib terima jika syaratnya lengkap,” katanya.
Ia juga menegaskan, hampir separuh APBD Provinsi NTT dialokasikan untuk sektor pendidikan, dengan nilai sekitar Rp 2,7 triliun.
“SMA/SMK harus punya produk sendiri, One School One Product (OSOP). Produk sekolah wajib masuk NTT Mart. Komunitas hobi juga harus bikin Community Product. Intinya harus kreatif, inovatif dan produktif,” tegasnya.
