Mengulik Perkembangan Kerajinan Perak Khas Celuk Sukawati

Posted on

Desa Celuk di Kecamatan Sukawati, Gianyar, sejak lama dikenal sebagai sentra kerajinan perak di Bali. Tak hanya diminati kolektor dari dalam negeri, buah tangan kerajinan perak karya warga Celuk juga diburu oleh wisatawan mancanegara.

Perbekel Desa Celuk, I Nyoman Rupadana, menuturkan kerajinan perak di wilayahnya menggeliat sejak 1915. Salah satu maestro yang mempopulerkan kerajinan perak khas Celuk adalah (alm) I Nyoman Gati.

Menurut Rupadana, Gati mendapat keahlian mengolah perak dari sang ayah bernama Nyoman Klesir yang juga pernah berguru kepada seorang pande asal Mengwi, Badung. Ilmu yang didapat dari Gati itulah kemudian dikembangkan Gati menjadi kerajinan perak khas Celuk.

“Dulu, perak yang diolah itu asalnya dari uang-uang Belanda. Belum seperti sekarang. Dibuatnya pun untuk kebutuhan upacara seperti bokor, sangku, caratan tirtha, dan lainnya” tutur Rupadana saat ditemui infoBali, Sabtu (13/9/2025).

Perak olahan perajin Celuk pada awalnya diminati oleh keluarga raja dari Puri Ubud, Puri Sukawati, dan Puri Sangsi Singapadu. Kerajinan perak khas Celuk semakin populer setelah para perajin di desa itu mengolahnya menjadi berbagai perhiasan seperti gelang, cincin, anting-anting, hingga kalung.

Popularitas perak khas Celuk semakin meluas hingga terdengar ke telinga maestro seni lukis asal Belanda, Rudolf Bonnet. Para perajin perak dari Desa Celuk pun digandeng bergabung dengan Pita Maha, sebuah komunitas seniman yang berdiri di Desa Peliatan, Ubud, pada 1936.

Menurut Rupadana, kerajinan perak Celuk memasuki masa kejayaan memasuki tahun 1980 hingga 1990-an. Banyak wisatawan asing, khususnya Amerika Serikat dan Eropa, yang memburu buah tangan perak karya warga Celuk.

Rupadana mengisahkan pada masa itu dentingan logam terdengar nyaring di Desa Celuk. Industri kerajinan perak berbasis rumahan mulai berjejer di sepanjang jalan desa itu. Hampir setiap keluarga membuat kerajinan perak, meski mulanya hanya ditekuni terbatas di kalangan keturunan pande.

“Berkat perak, masyarakat Celuk mampu bertahan dari krisis moneter pada 1998,” ujar Rupadana.

Rupadana menceritakan anak-anak Celuk juga kerap membantu orang tua mereka membuat perak sepulang sekolah. Mereka diberikan tugas mengerjakan tahapan termudah hingga akhirnya mampu mengerjakan semua tahapan saat dewasa.

Kerajinan perak di Celuk memiliki ciri khas tersendiri. Selain kadarnya yang mencapai 95 persen, motif yang dihasilkan lebih banyak terinspirasi dari alam seperti motif bun util, jejawanan, buah gonda, dan liman paya.

“Kerajinan perak Celuk berbeda dengan daerah lainnya. Seperti di Yogyakarta yang menghasilkan perak warna keputihan. Sedangkan, perak khas Celuk justru kehitaman karena kami mengatur terang-gelapnya dengan menggosokkan tanah merah,” ujar Rupadana.

Dari segi teknis pembuatan, kerajinan perak karya warga Celuk menggunakan teknik bun, tatahan, pelud, dan cap plong. Proses pembuatannya pun menggunakan bahan-bahan alami.

Misalkan penggunaan tanah merah sebelum mengatur gelap-terang kerajinan yang digunakan. Kemudian, ada pula penggunaan buah asam agar perak menjadi keputihan. Perekat motif-motif pada perak juga berasal dari daging buah piring-piring.

Lalu, untuk menghaluskan perak, warga Celuk menggunakan daun dari pohon amplas. Terakhir, pencuciannya menggunakan busa dari buah lerak untuk menjaga keawetan perak. Seiring waktu, proses pembuatan perak di Celuk mulai mengkombinasikan cara tradisional dengan modern.

Terlepas dari itu, Rupadana rupanya khawatir dengan masa depan perak Celuk. Sebab, jumlah perajin perak di desa itu terus menurun. Rupadana menilai anak muda di Celuk juga belum diberi kesempatan untuk mengeksplorasi kerajinan perak.

“Waktu banyak habis di sekolah. Dilatih pun dikira mempekerjakan anak. Kemampuan marketing juga penting karena 70 persen peminatnya justru asing,” kata Rupadana.

Gambar ilustrasi

Rupadana mengisahkan pada masa itu dentingan logam terdengar nyaring di Desa Celuk. Industri kerajinan perak berbasis rumahan mulai berjejer di sepanjang jalan desa itu. Hampir setiap keluarga membuat kerajinan perak, meski mulanya hanya ditekuni terbatas di kalangan keturunan pande.

“Berkat perak, masyarakat Celuk mampu bertahan dari krisis moneter pada 1998,” ujar Rupadana.

Rupadana menceritakan anak-anak Celuk juga kerap membantu orang tua mereka membuat perak sepulang sekolah. Mereka diberikan tugas mengerjakan tahapan termudah hingga akhirnya mampu mengerjakan semua tahapan saat dewasa.

Kerajinan perak di Celuk memiliki ciri khas tersendiri. Selain kadarnya yang mencapai 95 persen, motif yang dihasilkan lebih banyak terinspirasi dari alam seperti motif bun util, jejawanan, buah gonda, dan liman paya.

“Kerajinan perak Celuk berbeda dengan daerah lainnya. Seperti di Yogyakarta yang menghasilkan perak warna keputihan. Sedangkan, perak khas Celuk justru kehitaman karena kami mengatur terang-gelapnya dengan menggosokkan tanah merah,” ujar Rupadana.

Dari segi teknis pembuatan, kerajinan perak karya warga Celuk menggunakan teknik bun, tatahan, pelud, dan cap plong. Proses pembuatannya pun menggunakan bahan-bahan alami.

Misalkan penggunaan tanah merah sebelum mengatur gelap-terang kerajinan yang digunakan. Kemudian, ada pula penggunaan buah asam agar perak menjadi keputihan. Perekat motif-motif pada perak juga berasal dari daging buah piring-piring.

Lalu, untuk menghaluskan perak, warga Celuk menggunakan daun dari pohon amplas. Terakhir, pencuciannya menggunakan busa dari buah lerak untuk menjaga keawetan perak. Seiring waktu, proses pembuatan perak di Celuk mulai mengkombinasikan cara tradisional dengan modern.

Terlepas dari itu, Rupadana rupanya khawatir dengan masa depan perak Celuk. Sebab, jumlah perajin perak di desa itu terus menurun. Rupadana menilai anak muda di Celuk juga belum diberi kesempatan untuk mengeksplorasi kerajinan perak.

“Waktu banyak habis di sekolah. Dilatih pun dikira mempekerjakan anak. Kemampuan marketing juga penting karena 70 persen peminatnya justru asing,” kata Rupadana.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *