Mengenal Tais Belu, Tenun Ikat Asli NTT yang Sarat Makna dan Filosofi

Posted on

Kabupaten Belu di Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki ragam kekhasan dari sisi adat, seni dan budaya. Ada banyak produk kesenian dan budaya yang berkembang di wilayah itu, mulai dari tarian, nyanyian, hingga kerajinan tenun dan anyaman.

Salah satu seni budaya warisan leluhur yang masih berperan penting dalam kehidupan sosial masyarakat Belu adalah kain tenun atau yang disebut Tais. Tenun atau tais Belu mempunyai karakter khas dan menjadi bagian penting dalam setiap kehidupan sosial di Belu.

Berikut penggalan informasi mengenai tais Belu di Kabupaten Belu, NTT.

A. Sejarah

Masyarakat Belu khususnya kaum perempuan rutin menjalankan aktivitas menenun. Hasilnya digunakan untuk keperluan adat, pribadi, maupun dijual untuk menambah penghasilan.

Sejarah penggunaan tenun di kalangan global masyarakat Belu atau NTT, lebih ditekankan pada keperluan adat, misalnya untuk mas kawin, pesta maupun kematian. Nilai kain dalam konteks ini lebih ditentukan oleh nilai adat dan bukan berdasarkan harga pasar.

Awalnya, kerajinan tenun lebih merupakan produksi sambilan terutama di musim kemarau khususnya oleh kaum perempuan demi kebutuhan adat dan diperjualbelikan di kalangan sendiri. Baru pada 1965-1967 kelesuan ekonomi yang melanda Indonesia berdampak ke berbagai wilayah termasuk NTT sehingga masyarakat mulai kembali pada usaha penanaman kapas yang ditanam bersama-sama dengan jagung.

Walhasil, kapas menjadi bahan utama dari tais Belu. Tenun itu digunakan sebagai perlengkapan busana dalam berbagai ritual adat kepada leluhur. Warga Belu juga memakainya saat pembuatan rumah adat yang dimulai sejak pemasangan tiang inti rumah adat, pengatapan, peresmian atau pendinginan.

Dilansir dari laman Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum disebutkan semua melalui proses ritual adat dengan persembahan hewan ternak oleh semua klan suku rumah, ritual di awal kelahiran, tahapan acara perkawinan, acara kematian, dan acara kesenian. Selain itu tenun Belu dapat berfungsi sebagai pusaka adat dan menjadi identitas suku yang dapat dilihat dari corak motif dan teknik yang khas.

B. Motif dan makna

Tenunan asli kawasan Belu ini memang tenunan berbahan benang kapas alam. Dalam perkembangannya, ornamen hiasan tenun terus mengalami perubahan dan penggunaan lambing atau unsur spiritual yang mulai bergeser. Pengaruh motif ekonomi jauh lebih kuat dalam proses produksi selembar tenunan di era kini.

Beragam motif dan warna dibuat dengan teknik tenun tradisional yang unik. Dilansir dari perpustakaan digital Budaya Indonesia, motif pada Tais Belu umumnya abstrak dan kecil.

Biasanya tenun ini dipakai masyarakat Belu ketika acara adat seperti pernikahan, kematian dan pesta. Warna tenun umumnya mempunyai arti tersendiri, seperti hitam melambangkan malam, dan juga simbol arah utara.

Sementara warna merah melambangkan siang, arah selatan. Para pria biasanya memakai tenun bermotif vertikal yang disebut Tais Mane. Maknanya mengandung tanggung jawab para laki-laki kepada keluarganya. Sedangkan ambang untuk kaum wanita disebut Tais Feto.

Para wanita menggunakan kain ini dengan cara diikatkan pada dada. Bentuknya seperti sarung dengan ukuran sekitar 2 meter. Sedangkan dan kain yang dipakai para pria ini diikatkan pada pinggang dan berbentuk seperti selimut dengan ukuran 3 meter.

Tais juga menandakan suku dan asalnya, seperti Kabupaten Belu yang terdapat empat suku yaitu suku Kemak, Bunak, Tetun, dan Dawan. Masing-masing suku mempunyai motif dan paduan warna tais yang berbeda-beda, yang merupakan aneka macam pemahaman suku tentang keindahan, kontak budaya, kedudukan sosial dan kehidupan.

Seperti Suku Tetun yang mempunyai ciri khas motif eduk, fatuk kabelak, dan cruz, yang menyimbolkan kehidupan sosial dan penerimaan agama. Salah satu Motif yang ada dan cukup dikenal di Kabupaten Belu yakni Motif Tanduk Kerbau (Moho Dikur).

C. Proses Pembuatan

Munculnya variasi motif pada tenunan Belu dipengaruhi oleh filosofi hidup ataupun adat istiadat setempat serta alam dan lingkungan yang menjadi inspirasi dalam setiap corak motif dengan filosofi dan makna yang menjadi pegangan hidup.

Keahlian dan keterampilan para penenun Belu tidak didapatkan dari proses belajar yang singkat tetapi juga dari tradisi pewarisan keahlian menenun dari generasi ke generasi, yang didukung kehidupan sosial budaya yang masih kental dengan tradisi leluhur.

Sehingga tenunan Belu mempunyai proses pengerjaan dan motif serta filosofi yang tidak berubah banyak. Faktor tradisi khusus penenun yang dimiliki secara turun temurun membuat Tenun Belu berbeda dengan daerah lain karena memiliki teknik, motif, kombinasi khas yang tidak sama.

Tenun Belu dibuat dengan cara tradisional, menggunakan alat tenun gedogan motif pada tenunan dibentuk dengan teknik ikat (futus), pakan tambahan (buna), atau sotis, atau kombinasi dari teknik yang ada tenun Belu menggunakan pakan yang terdiri dari 1, 2, 3, 4 atau lebih benang dan benang yang digunakan adalah kombinasi benang yang diwarnai dengan teknik pewarnaan tenun ikat.

Terdapat tiga jenis teknik tenun tais yaitu futus (ikat), sui (sulam) dan fafoit (songket). Motif yang mengaplikasikan tiga teknik tenun ini disebut motif raja, karena dianggap sebagai citra dari kuasa dan memiliki kekuatan supranatural, gagah berani dan tangguh. Biasanya dipakai oleh para bangsawan.

Sedangkan rakyat biasa memakai kain sederhana bahkan tanpa motif yang disebut tais sorulos. Konsep eco fashion pada Tais Belu masih dipertahankan dan dilestarikan dengan memakai pewarna alami yang berasal dari kunyit, daun jati, batang mahoni, traum (indigo vera) dan akar mengkudu. Tenun ini juga telah menjadi bahan fashion desainer di luar negeri.