Makepung merupakan balap kerbau asal Kabupaten Jembrana, Bali. Saat makepung, kerbau yang telah dirias dan ditunggangi joki akan berpacu di atas lintasan untuk menunjukkan kekuatan dan kecepatan.
Makepung menjadi warisan budaya yang kaya akan nilai sejarah dan semangat gotong royong masyarakat agraris Bali. Buku Top 15 Travel Destinations in Indonesia oleh Barry Kusuma menyebutkan tradisi makepung berasal dari kebiasaan para petani membajak sawah secara bersama-sama.
Lambat laun, tradisi agraris itu berkembang menjadi ajang adu ketangkasan. Bahkan, makepung menjadi tontonan rakyat yang meriah dan ditetapkan sebagai salah satu daya tarik wisata budaya khas Jembrana.
Sampai saat ini, tradisi makepung tetap hidup dan menjadi bagian penting dari identitas budaya masyarakat Jembrana.
Dikutip dari Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, Saihu dalam penelitiannya yang berjudul Local Tradition and Harmony among Religious Adherents: the Dominant Culture of Hindu-Muslim Relation in Jembrana Bali, menjelaskan ajang balap kerbau ini biasanya digelar dalam rangka menyambut musim panen padi.
Makepung secara harfiah artinya ‘berkejar-kejaran’. Dari kebiasaan para petani, permainan ini kemudian dijadikan ajang lomba balap kerbau di lahan kering sekitar sawah. Makepung memiliki kemiripan dengan karapan sapi di Madura, namun dengan kekhasannya sendiri.
Sepasang kerbau makepung terdapat di tengah untuk pijakan joki. Kerbau dihiasi dengan hiasan menyerupai mahkota di kepalanya yang disebut rumbing. Setiap lomba, hanya ada dua peserta dengan masing-masing sepasang kerbau.
Selama ini, hanya ada dua kelompok sekaa yang saling melawan dalam lomba. Yakni Sekaa Makepung Ijogading Timur dan Sekaa Makepung Ijogading Barat. Setiap kelompok sekaa terdapat seratus lebih anggota dengan pasangan kerbau rata-rata satu pasangan.
Dalam arsip catatan infoBali, makepung diketahui mulai populer sejak 1960-an. Kini, warga Jembrana mewarisi dua jenis makepung, yaitu makepung darat dan makepung lampit.
Tokoh makepung Jembrana, I Ketut Master menjelaskan salah satu perbedaan antara makepung darat dan makepung lampit adalah pada jenis lintasan yang digunakan. Makepung darat dilakukan di lahan kering, sementara makepung lampit digelar di atas lintasan basah dan berlumpur.
Selain tradisi makepung di darat dengan cikar sebagai ikon Kabupaten Jembrana, juga terdapat makepung lampit yang menjadi tradisi warisan leluhur yang hingga kini dilestarikan. Kata Master, tradisi makepung lampit merupakan warisan leluhur sejak dulu dan digelar di setiap menjelang subak tanam padi.
Makepung lampit biasanya digelar di areal sawah warga menjelang musim tanam padi. Dengan demikian, selain digunakan untuk lomba, makepung lampit itu juga dimanfaatkan untuk mengolah lahan sawah.
Master menuturkan, secara umum makepung lampit hampir sama dengan makepung darat. Perbedaan lainnya yang paling menonjol adalah pada alat pemukul kerbau yang digunakan oleh joki saat makepung.
Makepung lampit menggunakan alat pemukul berupa pecut. Berbeda dengan makepung darat yang menggunakan bongkol berduri. Selain itu, makepung lampit juga tidak menggunakan cikar, melainkan lampit atau alat pembajak sawah. Konon, berdasarkan cerita dari kakek dan keluarga Master, makepung lampit dimulai dari sejak tahun 1918.
Dirangkum dari laman Dinas Pariwisata Kabupaten Jembrana dan Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, makepung berasal dari kata dalam bahasa Bali makepung-kepungan yang berarti berkejar-kejaran. Tradisi ini bermula dari proses pembajakan sawah, yaitu saat petani Bali mengolah lahan pertanian mereka dengan cara melumatkan tanah hingga menjadi lumpur.
Aturan mainnya yakni satu pasangan kerbau akan beradu kecepatan dengan pasangan lainnya di atas lintasan sawah yang berlumpur, dengan jarak antar pasangan kerbau biasanya sekitar sepuluh meter. Pemenangnya ditentukan dari pasangan yang mampu mengejar dan mendahului lawan dengan jarak tertentu.
Pemenang makepung bukan hanya ditentukan dari siapa yang mencapai garis finis lebih dahulu, tetapi juga dari jarak antara pasangan kerbau terdepan dan yang di belakang. Jika jarak itu lebih dari 10 meter, maka yang terdepan menang.
Tetapi jika pasangan di belakang mampu memperpendek jarak kurang dari 10 meter, maka merekalah pemenangnya. Setiap perlombaan berlangsung sekitar delapan hingga sepuluh menit.
Awalnya, tradisi ini lahir dari kebiasaan petani dalam membajak sawah secara kolektif saat musim tanam. Dua ekor kerbau akan dipasangi bajak atau lampit yang ditunggangi oleh seorang joki.
Dalam perkembangannya, kebiasaan ini kemudian berubah menjadi bentuk permainan adu kecepatan antara pasangan kerbau. Joki dalam tradisi ini mengenakan busana khas Bali tempo dulu, menyerupai para prajurit kerajaan, lengkap dengan ikat kepala (destar), selendang, dan celana panjang yang diselipkan di pinggang, kadang dilengkapi pedang dengan motif poleng (hitam-putih).
Namun sejak dekade 1960-an, pelaksanaan makepung bergeser dari sawah berlumpur ke lintasan tanah kering di sekitar ladang. Makepung mengalami transformasi dari yang awalnya dilakukan di lahan sawah berlumpur menjadi dilaksanakan di jalur tanah kering di sekitar sawah. Jalur ini berupa lintasan tanah berpasir, yang menjadi favorit karena memungkinkan perlombaan berlangsung lebih efektif.
Perubahan ini juga ditandai dengan terbentuknya organisasi resmi Makepung, yang membagi peserta ke dalam dua kelompok besar. Seperti dijelaskan sebelumnya, hanya ada dua kelompok sekaa yang saling melawan dalam lomba.
Sekaa Makepung Ijogading Timur atau Regu Ijo Gading Timur dengan lambang bendera merah, dan Sekaa Makepung Ijogading Barat atau Regu Ijo Gading Barat dengan lambang bendera hijau. Peserta makepung terbagi ke dalam dua blok besar yang dipisahkan oleh aliran Sungai Ijo Gading.
Kedua blok ini bertanding secara bergantian setiap dua minggu sekali, di sirkuit masing-masing yang juga digunakan sebagai tempat latihan. Peserta dibagi menjadi dua blok besar berdasarkan wilayah:
– Blok Barat: wilayah Ijo Gading ke arah barat yang mencakup Banyu Biru, Kaliakah, Tegal Badeng, Moding, Pola Sari, Melaya hingga Gilimanuk.
– Blok Timur: wilayah Sebual, Mendoyo, Poh Santen, Tegal Cangkring, Penyaringan, Yeh Embang, Yeh Sumbul hingga Yeh Leh.
Seiring pelaksanaan di ladang kering, bentuk perlombaan pun menyesuaikan. Alih-alih menggunakan lampit, digunakan gerobak kecil berhias ukiran khas Bali. Para joki mengenakan pakaian formal yakni kemeja batik atau lengan panjang, gendongan, celana panjang, dan sepatu, tanpa lagi membawa pedang.
Makepung dilaksanakan secara rutin setiap tahun, biasanya antara bulan Juli hingga Oktober, seusai musim panen. Tak hanya lomba kerbau, acara ini juga diramaikan dengan hiburan rakyat lainnya.
Kini, aturan mainnya diketahui lebih modern. Sepasang kerbau digunakan untuk satu joki, dan gerobak yang digunakan berukuran lebih kecil dibanding dulu. Setiap pasangan kerbau dihias dengan ornamen khas, seperti mahkota dan bendera merah atau hijau yang menandai kelompok mereka. Lintasannya berbentuk huruf “U”, dengan panjang 1-2 km dan lebar 2 meter.
Salah satu daya tarik utama makepung adalah aksi para joki di atas gerobak, berteriak menyemangati kerbau mereka dengan yel-yel khas daerah. Setiap perlombaan hampir selalu diwarnai insiden joki yang gagal mengendalikan kerbaunya, sehingga terperosok ke petakan sawah atau bahkan jatuh terjungkal bersama gerobaknya.
Keunikan lainnya kadang beberapa joki menggunakan tongkat berduri kecil untuk menambah kecepatan kerbau, yang sayangnya menyebabkan luka pada hewan tersebut. Insiden juga sering terjadi, terutama ketika kerbau sulit dikendalikan atau saat joki mencoba menyalip lawan hingga disambut sorak penonton.
Makepung bukan hanya kompetisi, tetapi merupakan pesta rakyat sekaligus wahana pelestarian budaya. Bagi para peternak, makepung juga memberi keuntungan ekonomi. Harga jual kerbau yang ikut serta, apalagi yang langganan juara, bisa meningkat tajam bahkan mencapai ratusan juta rupiah.
Saat ini, peserta makepung tidak hanya berasal dari kalangan petani. Kemeriahan acara semakin bertambah dengan kehadiran musik jegog, yaitu alat musik tradisional Bali yang terbuat dari bambu, yang dimainkan selama lomba berlangsung.
Puncak tradisi ini ditutup dengan parade pakaian adat untuk kerbau dan tarian makepung yang diiringi jegog. Dalam buku Gamelan Jegog Bali oleh I Nyoman Sukerna, disebut pada tahun 1974, seorang seniman bernama I Ketut Suwentra menciptakan sebuah tarian yang sangat populer dan sering digelar di Jembrana, yaitu tari Makepung.
Tari Makepung dipentaskan oleh 7 orang penari putra-putri. Gerakan tarian tersebut terinspirasi dari aktivitas para penunggang kerbau dan gerak-gerak kerbau ketika makepung. Tarian ini diiringi dengan gamelan Jegog (instrumen bambu) khas Jembrana.
Dalam arsip infoBali, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jembrana, Anak Agung Komang Sapta Negara, pernah menjelaskan tradisi Makepung Lampit Jembrana tercatat sebagai Warisan Budaya Tak Benda Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada Agustus 2022. Sedangkan tradisi Makepung Darat lebih dulu jadi Warisan Budaya Tak Benda, hampir bersamaan dengan Kesenian Jegog.