Kejati NTT Sita Tanah Negara yang Dikuasai Keluarga Konay

Posted on

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur (NTT) menyita lahan milik Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Kupang, Rabu (28/5/2025). Tanah yang terletak di Jalan Piet A Tallo, Kelurahan Oesapa, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang, itu selama ini dikuasai oleh warga, yakni keluarga Konay.

Pantauan infoBali, Kejati NTT membawa enam papan tanda penyitaan dan dipasang di beberapa titik atau batas lahan tersebut. Pemasangan tanda penyitaan itu dikawal ketat oleh satu regu personel Datasemen Polisi Militer (Denpom) IX/1 Kupang dan Komando Resor Militer (Korem) 161/Wirasakti Kupang.

Setelah Kejati NTT tiba di lokasi untuk melakukan pemasangan papan, salah satu keluarga Konay, Dony Konay, langsung melayangkan protes. Donny lantas meminta Kejati NTT menunjukkan surat perintah pemasangan papan penyitaan.

“Tidak bisa. Mana surat perintahnya? Surat perintah dari siapa?. Tolong tunjukan suratnya,” ujar Dony di lokasi.

Dony mengeklaim ia merupakan salah satu ahli waris atas tanah tersebut. Dia langsung meminta Kejati NTT agar tidak boleh ada aktivitas di tanah yang berjarak sekitar 50 meter dengan Hotel Neo Aston By El Tari Kupang tersebut.

“Beta (saya) Dony Konay, pokoknya yang pastinya kami tidak mau ada aktivitas di sini ya. Setidaknya kalian itu minta permisi. Kami minta kalau bisa Kemenkumham undang dahulu keluarga Konay dan gubernur juga karena tanah ini sudah dieksekusi sejak tahun 1997,” kata Dony.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Seksi Penyidikan (Kasi Dik) Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati NTT, Mourest Kolobani, mengatakan tidak mau berdebat untuk mencari tahu pemilik lahannya.

“Kami tidak mau berdebat ya. Saya tidak mau berurusan dengan keluarga Konay,” kata Mourest ketika menjawab pertanyaan Dony.

Mourest menjelaskan aset negara yang disita itu memiliki luas 99.785 meter persegi. Tanah tersebut tercatat secara sah dalam Sertifikat Hak Pakai (SHP) Nomor 4 Tahun 1995 dengan gambar situasi nomor 599/1994 atas nama Pemerintah Republik Indonesia (RI) atau Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

“Kami memasang enam papan tanda penyitaan di enam titik lokasi yang berada dalam area tanah objek perkara dan memasang kawat berduri untuk menghubungkan enam papan tanda penyitaan tersebut,” ujar Mourest.

Menurut Mourest, penyitaan itu dilakukan berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kupang nomor 20/Pen.Pid.Sus-TPK-SITA/2025/PN Kpg tanggal 30 April 2025 untuk kepentingan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi penguasaan tanah milik negara oleh pihak yang tidak berhak.

“Kalau berdasarkan hasil penyidikan sementara, maka potensi kerugian negara ditaksir mencapai Rp 900 miliar akibat penguasaan tidak sah atas tanah milik pemerintah ini,” jelas Mourest.

Mourest mengatakan dugaan korupsi itu berakar dari peralihan dan transaksi ilegal yang dilakukan sejumlah pihak tanpa hak atas tanah milik negara yang telah sah bersertifikat menurut hukum.

“Kami berkomitmen menindak tegas setiap praktik korupsi yang menyasar aset negara, terutama dalam penguasaan dan jual beli tanah milik pemerintah. Langkah penyitaan ini merupakan bagian dari proses hukum yang transparan dan akuntabel untuk mengembalikan hak negara dan mencegah kerugian lebih lanjut,” terang Mourest.

Mourest menuturkan kasus itu bermula dari Surat Keterangan (SK) pelepasan hak nomor 1/Sub.Dit.Agr/1975 tanggal 7 Mei 1975 yang mencatat tukar guling antara Pemerintah Daerah (Pemda) Tingkat I NTT dengan Direktorat Daerah Pemasyarakatan NTT.

Direktorat Daerah Pemasyarakatan NTT dalam tukar guling itu menyerahkan tanah seluas 23,95 hektare di Oebobo kepada Pemda NTT dan menerima pengganti berupa 40 hektare di Kelurahan Oesapa Selatan atau lokasi yang telah dipasangi papan penyitaan tadi.

Lahan itu kemudian didaftarkan dan diterbitkan SHP Nomor 10 tahun 1975 yang kemudian dibagi lagi menjadi dua SHP, yaitu Nomor 4 Tahun 1995 dengan luasnya 99.785 meter persegi dan SHP Nomor 5 tahun 1995 dengan luasnya 264.340 meter persegi yang kini telah dibangun lapas, rupbasan, lapas anak, lapas perempuan dan imigrasi, rudenim dan rutan.

“Karena adanya pembangunan jalan, maka tanah tersebut dibagi menjadi dua SHP,” tutur Mourest.

Berjalannya waktu, Mourest melanjutkan, tanah itu diperjualbelikan kepada sejumlah pihak, yakni, Yonas Konay menjual beli tanah yang telah bersertifikat hak pakai Nomor 4 Tahun 1995 kepada Charly Yapola seluas 2.000 meter persegi sesuai kuitansi tanggal 2 Oktober 2017 dengan harga Rp 300 juta dengan cara mencicil hingga saat ini sudah sebagian besar telah dicicil dan sisanya akan dilunasi setelah sertifikat diserahkan.

Selanjutnya, Yohana H Lada Sitta juga telah dibuatkan surat pernyataan pelepasan hak nomor 306/PEM.PH/CKL/XI/2020 tanggal 17 September 2020, oleh Yonas Konay yang menyerahkan hak yang disaksikan oleh Lurah Oesapa, Kiai Kia dan Pelaksana Tugas (Plt) Camat kelapa Lima, Lasarus Lusi. Tanah tersebut dibeli pada 1984 dengan harga Rp 750 juta dan luasnya 10 ribu meter persegi.

Kemudian, Nicolins Mariana Mailakay dibuatkan surat pernyataan pelepasan hak nomor 403/PEM.PH/CKL/IX/2020 tanggal 30 November 2020 oleh Yonas Konay seharga Rp 2 miliar dengan luasnya 10 ribu meter persegi. Pembayarannya dilakukan dengan cara mencicil hingga saat ini telah dicicil sekitar Rp 900 juta dan sisanya setelah ada sertifikat baru dilunasi.

Selain Yonas Konay, Susana Juliana Konay juga memperjualbelikan tanah yang telah bersertifikat hak pakai nomor 4 Tahun 1995 itu kepada Alberth Arnold Antonius Fina dengan harga Rp 200 juta sesuai kuitansi tanggal 7 Mei 2019 dengan luas tanah 2.000 meter persegi.

Kemudian, Susana memperjualbelikan tanah itu lagi kepada Naomi Fina Mansopu dengan harga Rp 333 juta dengan luas tanah 2.000 meter persegi. Hal ini dibuktikan dengan surat pernyataan penyerahan hak atas tanah nomor PEM.37a/PH/CKL/VI/ 2020 pada 5 Juni 2020.

Selanjutnya, Susana kembali memperjualbelikan tanah itu lagi kepada Basri Lewamang pada 2 Juni 2020 dengan luasnya 3.000 meter persegi dan harganya Rp 900 juta. Penjualan itu dibuktikan dengan surat pernyataan penyerahan hak atas tanah nomor 64/PH/CKL/VII/2020 tanggal 2 Juli 2020 dan kuitansi pembelian tanah pada 15 November 2020.

Selain itu, salah satu pihak, yaitu Nikson Lily juga turut memperjualbelikan tanah yang memiliki SHP nomor 4 Tahun 1995 kepada Roby Lugito seluas 20 ribu meter persegi. Kemudian, Roby juga telah membayar uang muka sekitar Rp 200 juta.

“Semua transaksi tersebut dilakukan tanpa dasar hukum yang sah karena tanah yang diperjualbelikan adalah aset negara yang tercatat atas nama Pemerintah RI,” jelas Mourest.

Kronologi Kepemilikan Lahan