Penjabat kepala desa (Kades) di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT), ditangkap karena memerkosa remaja berusia 15 tahun. Aksi bejat itu dilakukan berulang kali sejak akhir 2023.
Sementara itu, nelayan Lombok Timur di Nusa Tenggara Barat (NTB) menggelar aksi mogok melaut memprotes aturan pemasangan alat VMS yang dinilai membebani.
Masih dari wilayah NTT, seorang ibu hamil bernama Maria Yunita meninggal dunia di RSUD TC Hillers Maumere. Diduga, kematiannya terjadi karena ketiadaan dokter anestesi yang membuat proses penanganan medis darurat terhambat. Ombudsman RI Perwakilan NTT mendesak evaluasi sistem dan tenaga medis rumah sakit tersebut.
Berikut rangkuman lengkap dari tiga kasus yang menyita perhatian publik di wilayah Nusa Tenggara pada pekan ini dalam rubrik Nusra Sepekan.
Penjabat (Pj) Kepala Desa Wullu Manu, Fransiskus Xaverius Ngongo, ditangkap polisi karena memperkosa seorang remaja berinisial MRB (15). Pemerkosaan itu terjadi di Kecamatan Kota Tambolaka, Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Pelaku sudah kami tahan. Korban mendapat persetubuhan berulang kali dari pelaku,” ujar Kasat Reskrim Polres Sumba Barat Daya, AKP I Ketut Ray Artika, kepada infoBali, Kamis (10/4/2025).
Artika mengatakan, Fransiskus memperkosa korban sebanyak lima kali di tiga lokasi berbeda. Aksi itu dimulai sejak pertengahan Desember 2023 dan berlanjut hingga 25 Maret 2025.
“Pelaku menyetubuhi korban di rumahnya, kebun, serta rumah kosong warga di lokasi berbeda,” tutur Artika.
Menurut Artika, korban sempat menerima uang tutup mulut dari pelaku seusai disetubuhi. Uang yang diberikan bervariasi, mulai dari Rp 10 ribu hingga Rp 50 ribu.
“Setelah menyetubuhi korban, pelaku memberinya sejumlah uang kepada korban,” ujarnya.
Kasus ini terungkap setelah ibu korban melapor ke polisi pada Rabu (2/4/2025). Dari hasil pemeriksaan, pernyataan korban dan pelaku saling bersesuaian. Pelaku pun mengakui perbuatannya.
Fransiskus telah ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat Pasal 81 Ayat (1) dan (2) juncto Pasal 76 D dan 76 E UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014. Ia terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Puluhan nelayan di Lombok Timur, NTB, yang tergabung dalam Forum Nelayan Lombok Timur (Fornel) menggelar aksi mogok melaut pada Kamis (10/4/2025). Aksi ini sebagai bentuk protes terhadap kewajiban pemasangan alat pemantau kapal, Vessel Monitoring System (VMS), oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
“Kami hari ini melakukan aksi mogok melaut, karena pemerintah pusat khususnya KKP telah memberatkan nelayan karena mengeluarkan aturan yang mewajibkan pemasangan alat VMS,” kata Ketua Fornel, Satriawan, saat ditemui infoBali.
Satriawan mengeluhkan harga alat VMS yang sangat mahal, mencapai Rp 10 juta. Selain itu, nelayan juga dibebani biaya tahunan hingga Rp 7 juta untuk perpanjangan, perawatan, dan pemasangan.
“Harganya sangat mahal, di kisaran Rp 10 juta. Belum lagi setiap tahun dibebankan biaya Rp 4-7 juta untuk biaya perpanjangan, ada lagi biaya pemasangan dan perawatan,” keluhnya.
Ia menilai VMS tidak memiliki dampak positif terhadap hasil tangkapan nelayan. VMS hanya memantau posisi kapal dan dianggap justru mengekang ruang gerak nelayan kecil.
“Tidak ada fungsinya VMS ini, hanya memantau ruang gerak kami, sementara kami di sini nelayan kecil, seolah-olah kami di sini akan melakukan hal-hal yang ilegal,” ujar Satriawan.
Sebelumnya, Fornel telah menyampaikan penolakan terhadap aturan ini ke DPRD NTB. Namun, hingga kini belum ada hasil konkret dari aspirasi tersebut.
“Kami sudah pernah ke DPRD untuk menyampaikan penolakan VMS ini, tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan, bahkan satu pun anggota dewan tidak ada yang mengunjungi kami,” katanya.
Satriawan menegaskan jika tak ada respons dari pemerintah pusat, nelayan akan menggelar aksi serentak secara nasional. “Aksi mogok ini langkah awal kami, sehingga jika peraturan pemasangan VMS ini tidak dicabut, maka kami akan melakukan aksi serentak bersama seluruh nelayan di Indonesia,” tegasnya.
Seorang ibu hamil bernama Maria Yunita meninggal dunia di RSUD TC Hillers Maumere, Kabupaten Sikka, NTT, pada Rabu malam (9/4/2025). Korban yang hendak melahirkan diduga tidak mendapatkan penanganan optimal karena rumah sakit tak memiliki dokter anestesi.
“Dugaan sementara dari informasi yang saya dapati bahwa salah satu sebab kematian ibu dan anak itu karena tidak adanya dokter anestesi di RSUD TC Hillers Maumere,” ujar Kepala Ombudsman RI Perwakilan NTT, Darius Beda Daton, Kamis (10/4/2025).
Darius menjelaskan bahwa Maria merupakan warga Kelurahan Nangemeting, Kecamatan Alok Timur. Ia datang ke IGD dalam kondisi darurat dan membutuhkan tindakan operasi.
Darius mengaku sudah berkoordinasi langsung dengan Direktur RSUD TC Hillers. Ombudsman meminta rumah sakit segera memenuhi standar minimum tenaga medis untuk rumah sakit kelas C, termasuk keberadaan dokter anestesi.
“Karena kami juga telah menerima informasi bahwa sejak Januari 2025, RSUD TC Hillers Maumere tidak lagi memiliki dokter anestesi karena mengundurkan diri,” jelasnya.
Ia juga mendesak agar dua dokter anestesi dari RS Lela, yakni Yosefina Hermiyanti Tri Lestari Djati dan Remidazon Rudolfus Riba, bisa melayani di RSUD TC Hillers.
“Hal ini menjadi masalah tersendiri bagi pasien darurat yang membutuhkan pertolongan cepat dengan tindakan operasi,” tegas Darius.
Darius juga meminta Kepala Dinas Kesehatan Sikka mempercepat penerbitan Surat Izin Praktik (SIP) untuk dua dokter tersebut, jika mereka bersedia melayani.
Tak hanya itu, BPJS Kesehatan juga diminta memastikan seluruh rumah sakit mitra telah memenuhi jumlah dan kualifikasi tenaga medis sesuai kelas. “Apabila saat dilakukan kredensialing terdapat rumah sakit yang belum memenuhi standar minimum agar diingatkan wajib memenuhi syarat itu sebelum tanda tangan perjanjian kerja sama dilaksanakan,” pungkasnya.