Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram menetapkan dua tersangka kasus korupsi penjualan tanah pecatu di Desa Bagik Polak, Kecamatan Labuapi, Lombok Barat (Lobar), Nusa Tenggara Barat (NTB).
Tersangka yakni Kepala Desa (Kades) Bagik Polak, APP, dan mantan Kepala Seksi (Kasi) Pengendalian dan Penanganan Sengketa pada Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lobar, BMF.
“Kedua tersangka langsung kami tahan selama 20 hari. Tersangka APP ditahan di Lapas Kelas IIA Kuripan, sedangkan tersangka BMF ditahan di Lapas Perempuan Kelas III Mataram,” kata Kasi Intel Kejari Mataram, Muhammad Harun Al Rasyid, Jumat (26/9/2025).
Harun menjelaskan kasus tersebut bermula pada 2018 saat APP mengajukan permohonan sertifikat atas tanah pertanian seluas 3.757 meter persegi di Subak Karang Bucu, Desa Bagik Polak. Tanah itu merupakan aset milik Pemerintah Kabupaten Lobar.
“Tanah itu sebelumnya merupakan tanah pecatu dari Dusun Karang Sembung melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL),” ungkapnya.
Dari permohonan itu, terbit sertifikat hak milik (SHM) nomor 02669 atas nama pribadi APP. Warga yang mengetahui hal tersebut kemudian melakukan aksi demonstrasi ke kantor BPN Lobar.
“Tersangka AAP kemudian melepaskan haknya hingga SHM 02669 dibatalkan tanggal 29 September 2019 oleh BPN Lobar,” sebut Harun.
“Mereka (IWB dan lainnya) menggugat tersangka APP dan BPN Lobar atas objek yang telah dibatalkan,” katanya.
Dalam persidangan, tersangka BMF selaku penerima kuasa khusus dari Kepala BPN Lobar sengaja tidak hadir dan tidak menugaskan staf kuasa khusus lainnya.
“Akibatnya, hak untuk memberikan penjelasan atas kemungkinan error in persona dan error in objecto saat di pengadilan tidak dilakukan,” ujarnya.
APP lalu memanfaatkan situasi itu dengan melakukan perdamaian dengan IWB. Ia menyerahkan tanah beserta SHM nomor 02669 kepada IWB berdasarkan akta perdamaian dari pengadilan.
“Tanah itu kemudian dijual,” kata Harun tanpa menyebutkan harga jualnya.
Penjualan tanah tersebut menimbulkan kerugian negara, namun nilainya masih dihitung.
“Kerugian negara kurang lebih seharga tanah seluas 3.757 meter persegi di Desa Bagik Polak yang saat ini sedang dihitung oleh BPKP perwakilan NTB,” tandas Harun.
Atas perbuatannya, kedua tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
“Mereka (IWB dan lainnya) menggugat tersangka APP dan BPN Lobar atas objek yang telah dibatalkan,” katanya.
Dalam persidangan, tersangka BMF selaku penerima kuasa khusus dari Kepala BPN Lobar sengaja tidak hadir dan tidak menugaskan staf kuasa khusus lainnya.
“Akibatnya, hak untuk memberikan penjelasan atas kemungkinan error in persona dan error in objecto saat di pengadilan tidak dilakukan,” ujarnya.
APP lalu memanfaatkan situasi itu dengan melakukan perdamaian dengan IWB. Ia menyerahkan tanah beserta SHM nomor 02669 kepada IWB berdasarkan akta perdamaian dari pengadilan.
“Tanah itu kemudian dijual,” kata Harun tanpa menyebutkan harga jualnya.
Penjualan tanah tersebut menimbulkan kerugian negara, namun nilainya masih dihitung.
“Kerugian negara kurang lebih seharga tanah seluas 3.757 meter persegi di Desa Bagik Polak yang saat ini sedang dihitung oleh BPKP perwakilan NTB,” tandas Harun.
Atas perbuatannya, kedua tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
