Para pengusaha hotel di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), kaget dan bingung dengan munculnya surat tagihan dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) terkait royalti musik. Pasalnya, tagihan itu datang secara mendadak, setelah viralnya sengketa royalti musik di gerai Mie Gacoan Bali beberapa waktu lalu.
Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.
“Teman-teman hotel sudah disurati, karena menurut LMKN, semua usaha yang menyediakan sarana hiburan seperti musik wajib (bayar royalti). (Teman-teman di hotel) sudah komentar kalau hotel nggak mutar musik, tapi jawaban mereka (LMKN), kan di kamar ada TV, TV itu bisa dipakai mendengarkan musik oleh tamu. Itu argumen mereka (LMKN),” kata Ketua Asosiasi Hotel Mataram (AHM) I Made Adiyasa saat dikonfirmasi, Senin (11/8/2025).
Menurut Adiyasa, para pengusaha hotel di Mataram mengaku bingung dengan kewajiban membayar royalti musik. Padahal, hotel-hotel di Mataram tidak pernah menggunakan musik seperti yang biasa dilakukan restoran atau kafe-kafe.
“Itu argumen mereka (LMKN), (jadi pihak hotel harus bayar royalti lagu) berdasarkan jumlah kamar, kalau resto atau kafe kan bayarnya berdasarkan jumlah kursi. Nah, kalau hotel dari 0-50 kamar dikenai berapa, dan hotel dengan 50-100 kamar akan dikenai berapa,” jelasnya.
Selain ditagih secara mendadak, para pengusaha hotel di bawah naungan AHM dinilai Adiyasa mengaku tidak nyaman dengan cara penagihan pihak LMKN.
“Dari cerita teman-teman hotel, cara nagihnya itu seperti kita ini berutang (besar). (Ditanyai) kapan bayarnya. Untuk sementara ini saya minta teman-teman hotel yang dikirimi tagihan untuk minta ruang diskusi kepada LMKN,” terangnya.
Sebelumnya, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTB, Ni Ketut Wolini, mengkritik mekanisme penarikan royalti atas pemutaran lagu di kafe dan restoran. Ia menilai kebijakan tersebut belum memiliki dasar teknis dan petunjuk pelaksanaan yang jelas di daerah.
Hal itu disampaikan Wolini menanggapi kasus hukum yang menjerat Mie Gacoan di Bali. Gerai tersebut dilaporkan ke Polda Bali oleh Lembaga Manajemen olektif (LMK) Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) karena diduga tidak membayar lisensi menyeluruh atau blanket license atas pemutaran lagu di gerainya, termasuk di Jalan Teuku Umar, Denpasar.
Masalah ini pun kian merembet hingga ke daerah lain. Banyak pengusaha hotel dan restoran yang takut memutar lagu.
“Para pelaku usaha di daerah belum memperoleh penjelasan resmi mengenai prosedur penarikan royalti. Saya selaku Ketua PHRI NTB mengaku belum pernah diajak berdiskusi oleh pihak terkait di daerah,” jelas Wolini, sebelumnya.
Wolini juga menyoroti beban berlapis yang kini harus ditanggung pelaku usaha di sektor hotel dan restoran. Selain membayar pajak pusat dan daerah, mereka juga dibebani kewajiban membayar royalti lagu.
“Harapan kami dari PHRI ada revisi undang-undang (Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta). Ini memberatkan soalnya. Karena kami bayar pajaknya tinggi. Satu objek pajak atau satu objek usaha, misalnya nih restoran atau hotel, itu pajak daerah tinggi, pajak pusat juga. Lagi ini royalti. Belum pajak yang lainnya,” tandas dia.