Kementerian Lingkungan Hidup akan membangun instalasi pengolahan sampah menjadi bahan bakar pembangkit listrik mulai 2026 di Bali. Menurut ahli elektro, upaya mengolah sampah jadi bahan bakar pembangkit listrik sejatinya tidak terlalu menjanjikan.
Guru besar bidang teknik elektro Universitas Udayana, Ida Ayu Dwi Giriantari mengatakan ribuan ton sampah yang dihasilkan di Bali, dapat diolah jadi bahan bakar pembangkit listrik. Namun, mengolah sampah jadi listrik bukan perkara murah.
Giriantari enggan menyebut berapa biaya mengolah sampah jadi bahan bakar pembangkit listrik. Pembangunan instalasi pengolahannya saja sudah menyedot banyak biaya.
“Biayanya tidak sebanding dengan listrik yang dihasilkan dari sampah itu. Sehingga siapa pun yang membangun (instalasi) pengolahan sampah (jadi listrik) masih butuh biaya,” kata Giriantari ditemui infoBali seusai konferensi pers Pekan Iklim Bali di Denpasar, Jumat (15/8/2025).
Giriantari mengatakan pasokan listrik yang dihasilkan pembangkit berbahan bakar sampah juga tidak besar. Seberat 1 ton sampah baru dapat dijadikan bahan bakar pembangkit untuk beberapa kilowatt (Kwh) listrik saja.
Sementara itu, sampah seberat 2.000 ton, dapat dijadikan bahan bakar pembangkit listrik berkapasitas 30 megawatt (MW). “30 MW itu hanya mampu memberi pasokan listrik di Bali selama 24 jam saja,” jelasnya.
Ada dua metode pengolahan sampah. Ada metode insenerator dan pirolisis dalam mengolah sampah.
Metode insenerator adalah yang paling cocok diterapkan di Bali karena hanya membakar semua jenis sampah tanpa terkecuali. Berbeda dengan metode pirolisis yang hanya digunakan untuk mengolah sampah organik dengan dipanaskan pada suhu tinggi di ruang hampa udara.
Giriantari menegaskan hanya sampah baru yang dapat diolah dengan dua metode itu. Sebab sampah baru masih mengandung banyak kalori dibanding sampah lama yang telah membusuk.
“Jadi berpikirnya, bukan listriknya. Tapi (biaya) mengolah sampahnya. Listrik itu (sebenarnya) hasil sampingan dari pengolahan sampah (dengan manfaat lain),” katanya.
Bahaya Alih Fungsi Lahan di TPA Suwung
Giriantari juga sangat tidak menyarankan instansi mana pun untuk membangun pabrik atau instalasi apapun di lahan bekas TPA Suwung. Ada jutaan meter kubik gas metana (CH4) yang terkubur di dalam timbunan sampah yang sudah menggunung sejak 1984 itu.
Untuk diketahui, metana adalah gas yang mudah terbakar dan meledak. Sehingga, pekerjaan konstruksi apapun yang akan mengebor tanah untuk menancapkan fondasi, dapat memicu ledakan.
“Siapa pun tidak akan berani membangun (instalasi pengolahan sampah) di sana. Karena di bawahnya ada gas metana yang sudah puluhan tahun. Risikonya sangat tinggi. Bisa meledak kalau dibor,” kata Giriantari.
Karena risiko itu, Giriantari menyarankan penggunaan bahan bakar pembangkit listrik yang lebih aman dan lebih berkelanjutan. Yakni, pembangkit listrik berbahan bakar gas, hidrogen, dan tenaga surya.
Hanya, penggunaan sumber energi itu, diperkirakan baru akan digunakan di Bali setelah 2045. Pembangkit listrik tenaga uap di seluruh Bali akan dihentikan pada 2045 dan secara bertahap diganti dengan tenaga gas dan tenaga surya.
“Tapi, itu pun Bali belum mandiri energi. Karena gas pastinya (dipasok) dari luar Bali. Dari aspek energi mentahnya masih belum (mandiri),” katanya.
Giriantari mengatakan pemanfaatan gas alam untuk pembangkit listrik di Bali hanya sebagai batu loncatan saja. Tahap berikutnya, barulah Bali akan memanfaatkan hidrogen sebagai bahan bakar pembangkit listrik.
“Jadi, dari masa transisi dari LNG (liquid natural gas) ke energi terbarukan,” tandas dia.