Giri Prasta Ungkap Penyebab Ratusan Siswa di Buleleng Tak Bisa Baca

Posted on

Wakil Gubernur (Wagub) Bali, I Nyoman Giri Prasta, mengungkap penyebab siswa-siswi di Buleleng tidak bisa membaca. Ada ratusan siswa sekolah menengah pertama (SMP) tak bisa membaca di daerah yang berjuluk Gumi Panji Sakti itu.

“Saya pikir ini memang kesalahan pendidik dan tidak ada perhatian dari orang tua atau memang anak ini memang keterbelakangan mental,” kata Giri saat ditemui wartawan di kantor DPD PDIP Bali, Senin (21/4/2025).

Giri menegaskan telah memilah masalah tersebut. Sehingga, Giri meminta, apa pun yang terjadi, siswa dan siswi harus bisa membaca sesuai kemampuan.

“Dan kami sudah berbicara dengan bupati dan wakil bupati Buleleng, penanganan khusus ini sudah pasti,” tutur Giri.

Giri menegaskan fenomena anak SMP tak bisa membaca harus diselesaikan dan tidak boleh terjadi lagi. Sebab, anak muda itu merupakan generasi penerus bangsa.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali, jelas Giri, juga telah berkoordinasi dengan stakeholder terkait dan menggerakkan komponen masyarakat untuk membantu mengedukasi anak-anak.

Giri juga memastikan fenomena anak SMP tak bisa membaca baru terdeteksi di Buleleng saja. “Saya belum mendengar di kabupaten lain,” ungkap Giri mantan Bupati Badung dua periode itu.

Sebelumnya, data ratusan siswa SMP belum bisa membaca dengan lancar itu diungkapkan oleh Ketua Dewan Pendidikan Buleleng I Made Sedana. Berdasarkan data yang dihimpun dari Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP Buleleng, terdapat sekitar 400-an siswa SMP yang kesulitan membaca.

Sedana menjelaskan faktor utama persoalan ini bisa terjadi karena kebijakan naik kelas otomatis atau program tuntas tanpa mengukur penguasaan kompetensi dasar siswa.

“Angkanya mengejutkan, jadi ada 400-an anak yang tidak bisa membaca dengan lancar, artinya masih mengeja. Tidak selayaknya anak SMP yang membaca sudah tidak menjadi persoalan,” kata Sedana, Rabu (9/4/2025).

Faktor utama persoalan ini bisa terjadi karena kebijakan naik kelas otomatis atau program tuntas tanpa mengukur penguasaan kompetensi dasar siswa. Ia menyebut pemahaman yang keliru terhadap konsep pembelajaran tuntas menyebabkan siswa tetap naik kelas meskipun belum menguasai kemampuan dasar seperti membaca.

Hal ini, Sedana berujar, justru menyebabkan beban pendidikan dasar berpindah ke jenjang SMP. Pendidikan dasar itu harusnya sudah tuntas di jenjang sekolah dasar (SD).

“Kalau dicermati, program tuntas itu implementasinya tuntaskan mereka, baru naikkan. (Jadi ini) seperti memindahkan persoalan dari SD ke SMP,” kata Sedana.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *