Fenomena Turis Asing Nyambi Bekerja di Bali, Masalah yang Belum Tuntas

Posted on

Fenomena turis asing nyambi bekerja di Bali jadi sorotan sejak beberapa tahun belakangan. Padahal mereka hanya memiliki izin tinggal dari visa kunjungan. Namun, oknum-oknum wisatawan itu malah menyalahgunakan izin tinggal dan visa itu untuk melakoni pekerjaan yang dilakukan masyarakat lokal.

Sekretaris Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) Regional Bali, Ida I Dewa Made Rai Budi Darsana, mengatakan masalah itu seakan tak pernah menemukan solusi. Pihaknya menilai belum ada ketegasan pemerintah untuk memberantas tenaga kerja asing ilegal.

“Persoalan tenaga kerja asing (ilegal) ini sudah dari dulu menjadi masalah bagi Bali. Kami hanya meminta ketegasan dari pemerintah bahwa masalah tenaga asing ini masalah besar, manakala pemerintah abai dan membiarkan masalah ini berlarut,” kata Dewa Rai, Rabu (30/4/2025).

Ia mencatat turis yang nyambi kerja di Bali dominan ditemukan di sektor nonformal. Ada yang berdagang, memasarkan jasa, hingga menjadi instruktur.

“Ini sulit dideteksi. Maka penting Imigrasi, Dinas Tenaga Kerja, sampai pengawas tenaga kerja, serius bekerja untuk memastikan tidak ada celah bagi mereka melakukan tindakan ilegal di Bali,” sebut Dewa.

Di sektor pariwisata, Dewa menuturkan, ada pula laporan bahwa turis asing nyambi menjadi pramuwisata. Mereka yang mendatangkan turis, memasarkan, melakukan transaksi dengan sesama turis asing.

“Bayangkan kalau sekarang kedatangan pekerja asing ilegal yang luput dari pantauan, dengan serius, akan banyak yang ambil mata pencaharian kita, masyarakat. Banyak yang datang (wisatawan) tetapi yang mendapat dan menikmati mereka-mereka juga,” sambung dia.

Menurutnya, keterbatasan pengawasan jadi kendala pemangku kepentingan. Dia berpesan ke masyarakat jika menemukan orang asing melakukan pekerjaan ilegal di Indonesia bisa segera melapor ke serikat buruh atau pemerintah.

Sebelumnya, puluhan buruh yang tergabung dalam Aliansi Perjuangan Rakyat Bali menggeruduk Pusat Pemerintahan (Puspem) Badung. Mereka menyampaikan sebanyak 19 tuntutan serangkaian peringatan Hari Buruh Internasional yang jatuh setiap 1 Mei.

Massa aksi menyoroti dunia kerja yang menghadapi krisis akibat perubahan regulasi melalui penggabungan Undang-Undang Ketenagakerjaan ke dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Mereka menilai proses penyusunan UU Ciptaker terburu-buru dan minim partisipasi publik.

Mereka juga menilai dampak buruk UU Ciptaker tidak hanya dirasakan di sektor industri besar, tetapi juga sektor perikanan. Menurut mereka, pekerja perikanan sudah lama berada dalam kondisi kerja yang penuh risiko, seperti jam kerja berlebih hingga upah rendah.

Tak hanya itu, massa juga mengkritik kebijakan efisiensi anggaran yang disebut memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, termasuk di sektor pendidikan. Banyak dosen dan tenaga pendidik terkena dampak hingga pembayaran Tunjangan Kinerja (Tukin) di Kemendikti yang masih bermasalah.