Dua terdakwa korupsi kerja sama pemanfaatan lahan untuk pembangunan NTB Convention Center (NCC), antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB dengan PT Lombok Plaza, menjalani sidang perdananya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram, Senin (2/6/2025). Terdakwa adalah eks Sekretaris Daerah (Sekda) NTB Rosiady Husaenie Sayuti dan mantan Direktur PT Lombok Plaza Dolly Suthajaya Nasution.
Dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU), kedua terdakwa disebut menandatangani perjanjian kerja sama pemanfaatan barang milik daerah (BMD) NTB dengan pola bangun guna serah (BGS) pada 19 Oktober 2016.
“Kerja sama itu untuk pembangunan NTB Convention Centre (NCC) dan fasilitas pendukungnya,” kata JPU Ema Muliawati saat membacakan dakwaan.
Sebelum adanya PKS itu, pada 23 Juni 2016, Muhamamd Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) selaku Gubernur NTB menerbitkan surat keputusan (SK) Nomor : 032-590 tentang Tim Penilai / Perhitungan Kontribusi / Royalti Kerjasama Pemanfaatan Barang Milik Daerah Pemerintah Provinsi.
Ditunjuk sebagai penanggung jawab adalah terdakwa Rosiady Sayuti dan Ketua Kepala BPKAD Provinsi NTB yaitu saksi Supran. Dalam SK itu, lanjut Ema, mereka diminta merumuskan dan menetapkan metode perhitungan kontribusi dan royalti sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Menetapkan besarnya kontribusi yang harus dibayarkan PT Lombok Plaza dan melaporkan hasil pelaksanaan tugas kepada Gubernur NTB,” katanya.
Selain itu, pada 22 Juli 2016 TGB juga menerbitkan SK Nomor : 032-632 Tahun 2016 tentang Tim Penyusun/Penulis Naskah Perjanjian Kerjasama Barang Milik Pemprov NTB. Dalam surat tersebut, Rosiady diminta melaksanakan inventarisasi aset-aset milik daerah untuk menghasilkan PAD (pendapatan asli daerah), menerima dan meneliti permohonan pemanfaatan yang diajukan masyarakat atau pihak kedua, melakukan penelitian survei lapangan, menyusun naskah perjanjian kerja sama, dan melaporkan hasil pelaksanaan tugas ke Kepala BPKAD NTB.
“Bahwa, setelah dibentuk tim penilai/perhitungan kontribusi/royalti kerja sama pemanfaatan barang milik daerah pemerintah provinsi dan tim penyusun/penulis naskah perjanjian kerja sama barang milik Pemprov NTB, dilaksanakan rapat pembahasan draf perjanjian kerja sama antara Pemprov NTB dengan PT Lombok Plaza,” ujarnya.
Pada draf perjanjian kerja sama tersebut muncul kewajiban dari PT Lombok Plaza untuk mengganti jumlah gedung yang berada di atas lahan yang akan dibangun NCC, yang berada di Jalan Bung Karno.
Dalam perjanjiannya, disebutkan biaya pembangunan gedung pengganti Laboratorium Kesehatan Pulau Lombok sebesar Rp 12.282.000.000. Juga gedung bangunan PKBI sebesar Rp 957.955.000.
“Selain melaksanakan pembangunan kedua gedung pengganti tersebut, Dolly Suthajaya Nasution selaku Direktur PT Lombok Plaza juga berkewajiban memberikan imbalan tahunan atau royalti selama 3 tahun sejak ditandatangani perjanjian sebesar Rp 750 juta per tahun. Juga membayar kontribusi tetap kepada Pemprov NTB dengan jangka waktu yang telah ditentukan,” beber Ema.
Hasil rapat itu, Ema berujar, dituangkan dalam naskah final perjanjian kerja sama antara PT Lombok Plaza dengan Pemprov NTB. Saksi Supran selaku Kepala BPKAD NTB sekaligus pejabat Penatausahaan BMD melaporkan ke terdakwa Rosiady.
“Oleh terdakwa Rosiady tidak melaporkan kepada saksi TGH Muhammad Zainul Majdi selaku penguasa BMD,” ujarnya.
Kendati demikian, Rosiady tetap menandatangi PKS pada tanggal 19 Oktober 2016 tersebut. Isi PKS itu memuat enam poin. Pertama, mengenai objek dan ruang lingkup. Kedua, bentuk perjanjian kerja sama. Ketiga, syarat-syarat pembangunan. Keempat, mengenai tahapan, prosedur dan jangka waktu pembangunan. Kelima mengenai biaya investasi, dan terakhir pernyataan dan jaminan.
Terkait dengan jaminan, PT Lombok Plaza selaku mitra BGS wajib menyerahkan kepada Pemprov NTB sebagai jaminan pelaksanaan pekerjaan pada saat perjanjian ditandatangi senilai 5 persen dari nilai investigasi, sebesar Rp 360 miliar.
“Namun sampai batas waktu telah ditentukan, PT Lombok Plaza tidak membayar jaminan pelaksanaan. Sehingga tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2009 tanggal 22 Mei 2009 tentang petunjuk teknis tata cara kerja sama daerah dalam lampiran I huruf C angka 6,” sebut Ema.
Dalam perjalananya, gedung pengganti yang sudah disepakati tidak dibangunkan terdakwa Dolly sebagaimana dalam perjanjian. Terdakwa Dolly menunjuk sendiri perusahaan swasta, CV Adi Cipta sebagai konsultan perencana dan PT Prima Bumi Agung sebagai kontraktor dan PT Gumi Adimira sebagai Konsultan Pengawas.
“Tetapi, terdakwa Dolly memerintahkan kepada saksi S Mardi untuk mengubah RAB (Rancangan Anggaran Biaya) yang sudah disusun,” katanya.
Gedung Balai Laboratorium Kesehatan Masyarakat Pulau Lombok baru yang dipindah ke Jalan Swara Mahardika, Kota Mataram dan Gedung Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) NTB baru hanya dibangun senilai Rp 6,5 miliar.
Eks Sekda NTB ajukan keberatan di halaman selanjutnya
Jaksa mengungkapkan tim ahli teknik PUPR NTB pernah mengecek fisik gedung baru tersebut pada 22 November 2024. Hasilnya, realisasi nilai fisik bangunan Gedung Balai Laboratorium Kesehatan itu Rp 5.023.463.000. Tidak sesuai dengan nilai RAB dalam perjanjian kerja sama.
“Selain itu bangunan tersebut tidak sesuai dengan Permen PU nomor 45 Tahun 2007 dan keputusan gubernur nomor 499 Tahun 2012. Sehingga bangunan gedung yang dihasilkan tidak tepat mutu, waktu, dan biaya,” ujar Ema.
Kemudian pada 26 Februari 2025, tim ahli dari Kementerian Kesehatan juga turun melakukan pengecekan. “Kesimpulannya, bangunan pengganti Labkesda belum sesuai Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 605 / MENKES / SK./VII/2008. Tentang Standar Balai Laboratorium Kesehatan dan Balai Besar Laboratorium Kesehatan,” tandasnya.
Kedua terdakwa dalam kasus tahun 2012-2016 itu mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 15,2 miliar. Jaksa mendakwa keduanya dengan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Atas dakwaan tersebut, Rosiady akan mengajukan eksepsi atau keberatan. “Untuk dakwaan tadi kami akan ajukan eksepsi atau keberatan kita, minggu depan,” kata penasihat hukum Rosiady, Rofiq Ashari, seusai pembacaan dakwaan.
Sejumlah keberatan akan disampaikan. Salah satunya, mengenai pembangunan gedung pengganti Laboratorium Kesehatan Pulau Lombok sebesar dan gedung pengganti bangunan PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia). Menurut Rofiq, saat itu Rosiady belum menjadi Sekda NTB.
“Mengenai itu, peristiwa pembangunan gedung pengganti itu antara tahun 2012-2015. Itu beliau (terdakwa Rosiady) belum menjadi Sekda NTB. Jadi, tidak tepat dakwaan itu. Sangat tidak tepat, kami tidak sependapat untuk itu,” sebutnya.
Keberatan lainnya, Rofiq berujar, mengenai perjanjian kerja sama yang dilakukan Rosiady saat menjabat menjadi Sekda NTB tahun 2016. Baginya, tidak terpenuhinya perjanjian dalam kerja sama tersebut bukan masuk kategori tindak pidana korupsi. Melainkan wanprestasi.
“Jadi, murni perjanjian itu adalah perdata, bukan tindak pidana korupsi,” ujarnya.