Panitia Khusus Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (Pansus TRAP) DPRD Bali mengusir perwakilan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Badung meninggalkan ruang rapat saat rapat dengar pendapat (RDP) terkait sengketa tanah di Kelurahan Kedonganan, Kabupaten Badung. Sikap tegas itu diambil karena BPN dinilai tidak mampu mengambil keputusan atas mandeknya penerbitan sertifikat tanah warga selama 22 tahun.
RDP digelar di Ruang Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Bali, Kamis (18/12/2025). Rapat membahas pengurusan sertifikat tanah seluas 13 are milik warga Kedonganan yang terhambat sejak 2002 hingga kini.
Ketua Pansus TRAP DPRD Bali, I Made Supartha, menilai perwakilan BPN Badung hanya berpegang pada satu surat keputusan tanpa memiliki parameter atau langkah lanjutan untuk mendalami persoalan. Padahal, menurutnya, fakta di lapangan dan bukti administrasi warga sudah jelas.
“Bola sebenarnya ada di BPN. Sejak awal kami mengundang BPN agar bisa mengambil keputusan. Fakta di lapangan dan bukti administrasi masyarakat sudah jelas, sementara pihak lain tidak bisa menunjukkan atas hak.” ujar Supartha.
Karena rapat dinilai tidak menghasilkan kejelasan, Pansus TRAP kemudian meminta perwakilan BPN Badung meninggalkan ruang rapat.
“Rapat sudah panjang lebar, tinggal keputusan di BPN. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan segala hormat, kami minta perwakilan BPN ruang rapat,” kata Supartha.
Kuasa hukum warga, Inspektur Jenderal Polisi (Purn) I Wayan Sukwinaya, mengatakan permohonan sertifikat tanah tersebut telah diajukan sejak 2002 dengan seluruh persyaratan administrasi lengkap. Namun, hingga kini permohonan itu belum diproses.
Menurut Sukwinaya, hambatan terjadi karena adanya Surat Keputusan (SK) Bupati Badung yang mengklaim lahan tersebut sebagai aset daerah.
“Perjalanan ini sangat panjang, dari tahun 2002 sampai sekarang. BPN tidak memproses permohonan kami dengan alasan adanya SK Bupati Badung. Padahal sudah jelas terungkap bahwa Pemda tidak memiliki alas hak atas tanah tersebut,” ujarnya
Sukwinaya menjelaskan tanah yang disengketakan merupakan kelanjutan dari bidang tanah yang sebelumnya telah diterbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM). Warga memiliki bukti kepemilikan berupa pipil, persil, bukti pembayaran pajak, serta penguasaan fisik lahan secara turun-temurun.
Supartha menegaskan DPRD Bali dan Pemerintah Kabupaten Badung telah mengakui tidak adanya dasar hukum atas klaim aset daerah terhadap tanah tersebut. Ia menilai bukti kepemilikan warga jauh lebih kuat dibanding pihak yang mengklaim lahan.
Pansus TRAP berencana kembali memanggil BPN Badung untuk memberikan penjelasan lanjutan. Supartha juga meminta Kepala BPN Provinsi Bali dan BPN Badung melakukan evaluasi internal terhadap kinerja bawahannya.
“Kami harap diselesaikan secara internal terlebih dahulu, sebelum kami merekomendasikan evaluasi ke tingkat pusat. Banyak juga keluhan masyarakat terkait pelayanan BPN, termasuk terbitnya sertifikat yang dinilai tidak memiliki dasar hukum yang jelas,” ujarnya.
Menurut Sukwinaya, hambatan terjadi karena adanya Surat Keputusan (SK) Bupati Badung yang mengklaim lahan tersebut sebagai aset daerah.
“Perjalanan ini sangat panjang, dari tahun 2002 sampai sekarang. BPN tidak memproses permohonan kami dengan alasan adanya SK Bupati Badung. Padahal sudah jelas terungkap bahwa Pemda tidak memiliki alas hak atas tanah tersebut,” ujarnya
Sukwinaya menjelaskan tanah yang disengketakan merupakan kelanjutan dari bidang tanah yang sebelumnya telah diterbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM). Warga memiliki bukti kepemilikan berupa pipil, persil, bukti pembayaran pajak, serta penguasaan fisik lahan secara turun-temurun.
Supartha menegaskan DPRD Bali dan Pemerintah Kabupaten Badung telah mengakui tidak adanya dasar hukum atas klaim aset daerah terhadap tanah tersebut. Ia menilai bukti kepemilikan warga jauh lebih kuat dibanding pihak yang mengklaim lahan.
Pansus TRAP berencana kembali memanggil BPN Badung untuk memberikan penjelasan lanjutan. Supartha juga meminta Kepala BPN Provinsi Bali dan BPN Badung melakukan evaluasi internal terhadap kinerja bawahannya.
“Kami harap diselesaikan secara internal terlebih dahulu, sebelum kami merekomendasikan evaluasi ke tingkat pusat. Banyak juga keluhan masyarakat terkait pelayanan BPN, termasuk terbitnya sertifikat yang dinilai tidak memiliki dasar hukum yang jelas,” ujarnya.
