Dampak Negatif Investasi Pariwisata di Labuan Bajo: Sorotan Anggota DPRD

Posted on

Anggota DPRD Kabupaten Manggarai Barat, Kanisius Jehabut, menyoroti dampak negatif investasi sektor pariwisata di Labuan Bajo, yang kini menyandang status sebagai destinasi superprioritas nasional. Ia menilai masyarakat lokal dan pemerintah daerah justru hanya menerima imbas buruk dari geliat pembangunan pariwisata tersebut.

“Dari Taman Nasional Komodo (TNK) hingga ke perairan pesisir, hotel, kapal-kapal wisata, dan pelabuhan apung terus dibangun atas nama investasi dan kemajuan. Tapi siapa yang menikmati manfaatnya? Bukan rakyat Labuan Bajo. Bukan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat,” kata Kanisius, Kamis (17/4/2025).

“Yang kami terima hanyalah tumpukan sampah, pencemaran laut, kemacetan, dan harga tanah yang melambung tinggi mendorong masyarakat asli terusir dari ruang hidupnya sendiri,” lanjut politikus Gerindra tersebut.

Kanisius menjelaskan, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pengelolaan kawasan konservasi seperti TNK dan wilayah pesisir tak lagi dipegang oleh pemerintah daerah. Dampaknya, Pemda Manggarai Barat kehilangan potensi pendapatan dari sektor wisata.

“Tidak satu rupiah pun dari tiket masuk TNK atau izin operasional kapal wisata masuk ke kas Kabupaten Manggarai Barat. Padahal, segala risikonya kami yang tanggung,” tegas Kanisius.

Menurutnya, pemerintah daerah tidak memiliki kuasa mengatur kuota kapal wisata, menarik retribusi, atau menolak pembangunan yang merusak lingkungan.

“Pemda tak bisa mengatur kuota kapal, tak bisa menarik retribusi, bahkan tak bisa menolak jika dermaga apung dibangun di atas terumbu karang. Ini adalah bentuk kolonialisme baru,” katanya.

Ia juga menyoroti lemahnya perlindungan hukum terhadap wilayah pesisir. Meski Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 melarang pembangunan di sepadan pantai kecuali untuk konservasi dan fasilitas publik, aturan turunan seperti PP Nomor 21 Tahun 2021 dan Permen ATR/BPN No. 17 Tahun 2021 justru membuka celah investasi.

“Inilah bentuk legalisasi kerusakan. Negara membiarkan kawasan paling rentan secara ekologis diubah menjadi objek wisata mewah, sementara nelayan lokal dilarang memasuki laut yang telah mereka jaga selama puluhan tahun,” ujar Kanisius.

Kanisius menyebut kondisi paling iron terjadi di Pulau Komodo, tempat masyarakat adat kini kesulitan mengakses tanah dan laut mereka sendiri. Tanah-tanah leluhur diklaim sebagai kawasan investasi dan ruang hidup warga semakin terbatas.

“Biawak komodo diberi ruang hidup seluas-luasnya, tetapi masyarakat yang telah hidup berdampingan dengan satwa itu selama ratusan tahun justru dikekang, dibatasi, dan disingkirkan secara perlahan,” jelasnya.

“Di kampung-kampung, komodo berkeliaran bebas, masuk ke halaman rumah, bahkan menggigit warga. Tapi siapa yang peduli?” tambahnya.

Menurut Kanisius, negara terlalu fokus pada konservasi dan pembangunan infrastruktur wisata, namun mengabaikan layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.

“Setiap tahun ada warga digigit komodo, namun tak ada fasilitas kesehatan yang memadai di pulau tersebut. Sekolah pun tidak disediakan oleh negara. Anak-anak dari Pulau Komodo terpaksa mengeluarkan uang banyak untuk melanjutkan pendidikannya di Labuan Bajo,” ungkapnya.

“Apa arti pembangunan jika rakyat asli terusir dari tanahnya sendiri? Apa arti konservasi jika hanya digunakan untuk membungkam suara masyarakat adat?” ujarnya.

Ia menegaskan, Labuan Bajo dan Pulau Komodo tidak boleh hanya menjadi etalase dunia. Wilayah tersebut harus menjadi sumber kesejahteraan rakyat Manggarai Barat, bukan penderitaan.

Jika pemerintah pusat tetap ingin mengambil alih semua kewenangan, maka harus ada tanggung jawab atas kerusakan dan ketidakadilan yang terjadi.

Kanisius menyampaikan lima sikapnya:

Regulasi Longgar Dinilai Legalkan Kerusakan

Masyarakat Komodo Kian Terpinggirkan

Layanan Dasar Masih Terabaikan

Lima Tuntutan Kanisius