Ide bahwa rendang dan mie goreng bisa menjelma menjadi rasa cokelat terdengar seperti candaan yang kebablasan. Jungle Gold Chocolate justru menjadikannya kenyataan.
Produsen cokelat asal Bali ini menghadirkan lebih dari 23 varian rasa yang terinspirasi dari kearifan lokal Nusantara, termasuk rujak mangga hingga kombinasi yang jarang ditemui di pasar cokelat.
“Kami ada inovasi dengan rasa-rasa yang tidak sering digunakan, dan juga embracing local wisdom kita, mengangkat produk kearifan lokal. Varian memang kreasi asli kami yang 23 varian rasa,” ujar Komisaris Jungle Gold, IGA Agung Inda Trimafo Yudha, saat ditemui Sabtu (15/11/2025).
Eksperimen rasa ini sejalan dengan langkah perusahaan yang kini menekankan keberlanjutan dan pilihan sehat. Jungle Gold beralih ke formula berbasis nabati, menggunakan susu dari kelapa dan kacang-kacangan untuk seluruh produk cokelat mereka.
“Yang paling lebih jadi suatu yang baru, hal at that point, kita nih cokelat bukan sekadar cokelat. Itu filosofinya membantu dunia ini, jadi produk kita dengan segala trial, menggunakan susu bukan dari susu hewani ini, tapi dari nabati,” kata Agung Inda.
Pilihan berbasis nabati ini juga ditujukan untuk konsumen vegan dan mereka yang mencari opsi lebih sehat. Menurut Agung, keputusan itu bukan soal mendorong orang menjadi vegetarian, melainkan menawarkan produk tanpa bahan hewani yang tetap berkualitas.
“Kami bukan karena kita ingin menyuruh orang vegetarian, tapi memang karena kita ingin memberikan sesuatu yang healthy tanpa harus menggunakan produk hewani. Plant-based itu, vegan itu transisi, memang tidak sejak 2010, dan yang jelas produk kami halal, dan tidak pakai pengawet,” tegasnya.
Jungle Gold, yang sebelumnya bernama Pod Chocolate sebelum berganti nama pada 2022, kini hadir di empat titik wisata Bali: Mengwi sebagai pusat produksi, Sanur sebagai toko utama, serta Ubud dan Canggu. Perusahaan memilih membeli bahan baku langsung dari petani alih-alih memiliki kebun sendiri, agar petani tetap leluasa fokus pada panen.
“Kami memang ingin yang ngolah, petani yang menghasilkan. Petani itu problem utamanya adalah panen beribu tiba-tiba tidak ada yang beli, nah, sementara ini kita sudah menciptakan diri untuk bisa menampung hasil petani,” ujar Agung.
Komitmen ini bukan sekadar jargon. Sejak 2010, perusahaan ikut mendampingi petani kakao yang sempat terpukul oleh hama dan anjloknya kualitas biji. Selama dua tahun, pendampingan diberikan mulai dari teknik pengendalian hama hingga manajemen pascapanen.
“Selama dua tahun, kami bekerja tanpa lelah memberikan edukasi kepada petani bagaimana cara terbaik menanam kakao. Model pertanian sederhana namun ramah lingkungan, menggunakan mikroorganisme, pengelolaan hama yang benar, dan menghindari penggunaan bahan kimia,” tertulis dalam laman mereka.
Hasilnya, produksi petani meningkat dan kualitas biji semakin baik. Jungle Gold berani membeli dengan harga dua kali lipat dari harga pasar kala itu. Tidak hanya kakao, perusahaan juga menggandeng koperasi untuk penyediaan gula kelapa sebagai pemanis alami cokelat hitam.
“Kami juga mengajari mereka bagaimana teknik pasca panen mulai dari fermentasi, sampai pengeringan dengan sinar matahari, sehingga mampu menghasilkan biji kakao berkualitas tinggi. Gula jenis ini lebih sehat daripada gula rafinasi karena glikemik rendah dan mengandung mineral,” jelasnya.
Komitmen terhadap petani kembali diuji ketika krisis kakao global terjadi. Harga biji kakao melesat dari sekitar Rp10.000 menjadi Rp180.000 per kilogram. Lonjakan itu menjadi alarm keras bagi perusahaan untuk memperkuat keberlanjutan rantai pasok.
“Ini merupakan wake up call untuk kita, alarm, bahwa kita enggak bisa mengandalkan hanya dari pihak lain untuk menyuplai bahan baku. Akhirnya sekarang kami mulai mengembangkan bibit-bibit unggulan dan bekerja sama dengan petani, kami berikan bibit itu kalau memang petani berkomitmen untuk menjual ke kami,” tutup Agung.
Jaringan Produksi di Bali dan Komitmen ke Petani
Jungle Gold, yang sebelumnya bernama Pod Chocolate sebelum berganti nama pada 2022, kini hadir di empat titik wisata Bali: Mengwi sebagai pusat produksi, Sanur sebagai toko utama, serta Ubud dan Canggu. Perusahaan memilih membeli bahan baku langsung dari petani alih-alih memiliki kebun sendiri, agar petani tetap leluasa fokus pada panen.
Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.
“Kami memang ingin yang ngolah, petani yang menghasilkan. Petani itu problem utamanya adalah panen beribu tiba-tiba tidak ada yang beli, nah, sementara ini kita sudah menciptakan diri untuk bisa menampung hasil petani,” ujar Agung.
Komitmen ini bukan sekadar jargon. Sejak 2010, perusahaan ikut mendampingi petani kakao yang sempat terpukul oleh hama dan anjloknya kualitas biji. Selama dua tahun, pendampingan diberikan mulai dari teknik pengendalian hama hingga manajemen pascapanen.
“Selama dua tahun, kami bekerja tanpa lelah memberikan edukasi kepada petani bagaimana cara terbaik menanam kakao. Model pertanian sederhana namun ramah lingkungan, menggunakan mikroorganisme, pengelolaan hama yang benar, dan menghindari penggunaan bahan kimia,” tertulis dalam laman mereka.
Hasilnya, produksi petani meningkat dan kualitas biji semakin baik. Jungle Gold berani membeli dengan harga dua kali lipat dari harga pasar kala itu. Tidak hanya kakao, perusahaan juga menggandeng koperasi untuk penyediaan gula kelapa sebagai pemanis alami cokelat hitam.
“Kami juga mengajari mereka bagaimana teknik pasca panen mulai dari fermentasi, sampai pengeringan dengan sinar matahari, sehingga mampu menghasilkan biji kakao berkualitas tinggi. Gula jenis ini lebih sehat daripada gula rafinasi karena glikemik rendah dan mengandung mineral,” jelasnya.
Komitmen terhadap petani kembali diuji ketika krisis kakao global terjadi. Harga biji kakao melesat dari sekitar Rp10.000 menjadi Rp180.000 per kilogram. Lonjakan itu menjadi alarm keras bagi perusahaan untuk memperkuat keberlanjutan rantai pasok.
“Ini merupakan wake up call untuk kita, alarm, bahwa kita enggak bisa mengandalkan hanya dari pihak lain untuk menyuplai bahan baku. Akhirnya sekarang kami mulai mengembangkan bibit-bibit unggulan dan bekerja sama dengan petani, kami berikan bibit itu kalau memang petani berkomitmen untuk menjual ke kami,” tutup Agung.
