Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima mengungkap biang kerok tingginya kasus pernikahan anak di daerah tersebut. Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB, kasus pernikahan anak tertinggi ditemukan di Bima.
Kepala DP3AP2KB Kabupaten Bima, Nurdin, tak menampik data tersebut. Ia mengungkap tingginya kasus pernikahan anak di di daerah itu sesuai dengan meningkatnya data izin dispensasi nikah yang dikeluarkan Pengadilan Agama (PA).
“Memang betul, angkanya memang tidak beda jauh dari data izin dispensasi nikah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama,” kata Nurdin kepada infoBali, Kamis (12/6/2025).
Nurdin menilai langkah Pengadilan Agama mengeluarkan izin dispensasi nikah terhadap anak sudah tepat. Menurut dia, rata-rata anak yang mengajukan dispensasi nikah karena sudah terlanjur hamil duluan. Ia menyebut hal itu akibat pengaruh lingkungan dan dampak dari pergaulan bebas.
“Kondisinya sangat dilematis, karena dispensasi nikah dikeluarkan oleh Pengadilan Agama bagi anak yang yang sudah terlanjur hamil duluan. Ya, berdosa kalau tidak dinikahkan,” imbuhnya.
Nurdin menjelaskan salah satu faktor tingginya pernikahan anak di Bima terkait pola asuh dan pengawasan orang tua terhadap anak yang semakin minim. Bahkan, dia menyebut para orang tua lebih khawatir hewan ternaknya hilang ketimbang anaknya keluar rumah berhari-hari.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
“Selain pengawasan orang tua yang lemah, biang kerok banyaknya kasus pernikahan anak di Kabupaten Bima juga dilatarbelakangi kemiskinan,” ungkap Nurdin.
DP3AP2KB Kabupaten Bima, dia berujar, sudah berupaya menekan kasus pernikahan dini. Termasuk dengan turun ke desa-desa dan sekolah-sekolah untuk memberikan sosialisasi tentang dampak negatif pernikahan anak.
“Tetap kami berikan imbauan kepada orang tua dan para anak dengan mendatangi langsung ke desa hingga sekolah mereka,” imbuh Nurdin.
Menurut dia, usia ideal bagi perempuan menikah pada adalah 20 tahun dan laki-laki 25 tahun. Ia menilai anak di bawah umur tersebut belum siap membangun bahtera rumah tangga secara mental.
Nurdin berjanji akan terus memperkuat sektor pendidikan agama dan moral untuk menekan kasus pernikahan anak di Bima. Ia mengingatkan pernikahan usia dini dapat berdampak negatif bagi kesehatan pengantin, salah satunya anak yang dilahirkan berpotensi mengalami stunting.
“Untuk mengurangi dan mencegah pernikahan anak ini dibutuhkan langkah kongkret bersama-sama,” imbuh Nurdin.
Diberitakan sebelumnya, persentase kasus perkawinan anak di NTB pada 2024 mencapai 14,96 persen. Angka ini berada di atas rata-rata angka nasional yang hanya sebesar 5,6 persen.
Kepala Bidang Perlindungan Khusus Anak DP3AP2KB NTB, Sri Wahyuni, mengatakan pernikahan anak di NTB pada 2025 sudah tembus mencapai 143 kasus. “Dari 143 kasus yang tersebar di NTB, secara berturut-turut kasus tertinggi ada di Kabupaten Bima, Dompu, dan Lombok Tengah. Khusus di Kabupaten Bima ada sebanyak 81 kasus,” ujar dia, belum lama ini.