Wahidah menyewa tanah di bilangan Jalan Sedap Malam, Denpasar, Bali, 25 tahun lalu. Mulanya, ia menjual tanaman hias dan membangun satu rumah sebagai tempat tinggal bersama suaminya, Arimun (60), di lahan itu.
Biaya sewa tanah yang meningkat tiap tahun membuat usaha tanaman hias Wahidah redup. Perempuan berusia 54 tahun itu lalu memutuskan untuk membangun kontrakan dan kos-kosan di lahan tersebut.
“Dahulu saya sewa tanah ini buat jualan tanaman, tetapi setelah lama berjalan kok cuma begini-begini saja, akhirnya saya sama suami bangun kos-kosan tiga kamar,” kata Wahidah, kepada infoBali di rumahnya di Jalan Sedap Malam, Denpasar, Minggu (27/4/2025).
Wahidah mengontrak tanah Rp 500 ribu per are pada tahun pertama. Adapun tanah yang dia sewa seluas enam are. Harga sewa yang naik setiap tahun membuat ia langsung membayar Rp 165 juta untuk 10 tahun.
Wahidah pun mulai membangun satu per satu propertinya pada tahun ke-11. Perlahan tapi pasti, kini ia memiliki tiga kamar kos dan satu rumah kontrakan.
Harga kamar kos tanpa furnitur milik Wahidah beragam yakni mulai dari Rp 600 ribu sampai Rp 900 ribu.
Hal itu tergantung dari ukuran kamar. Misalkan, untuk kamar kos Rp 900 ribu per bulan itu memiliki dua ruang dan kamar mandi, sedangkan Rp 600 dan Rp 700 ribu hanya satu ruang serta kamar mandi.
Adapun, rumah dikontrakkan dengan harga Rp 36 juta per tiga tahun. Kini rumah tersebut disewa oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar.
Wahidah pun membagi pemasukan dari sewa properti itu untuk beragam kebutuhannya. Misalkan, penghasilan dari sewa kos Rp 600 ribu ia simpan untuk dana darurat. Adapun, duit Rp 700 ribu untuk membeli kebutuhan dapur serta cuan Rp 900 ribu dari satu kamar kos lainnya untuk biaya sekolah putrinya.
Adapun, duit sewa dari rumah kontrakan dipakai Wahidah untuk beragam kebutuhan, salah satunya bisa membeli mobil.
“Ada untuk bayar sewa tanahnya, buat beli mobil, perbaiki yang rusak-rusak,” bebernya sembari tertawa.
Wahidah dan Arimun berencana memperpanjang sewa tanah di sana. Namun, dengan catatan, kenaikan harga tidak terlalu tinggi dari harga sebelumnya.
Tingginya kebutuhan tempat tinggal di Bali menjadi potensi bisnis yang bisa menghasilkancuan. Selain Wahidah, ada Jessica Natalia, pemilik Thapleuk Residence, sebuah kos-kosan elite. Pasar bisnis Jessica berbeda dengan Wahidah. Sebab, Jessica membidik kaum menengah ke atas. Kos-kosan milik Jessica juga berdiri di atas lahan pribadi, bukan sewa.
Jessica Natalia menerangkan kos-kosan tersebut berdiri sejak 2017. Ia membeli properti itu seharga Rp 3,5 miliar dari pemilik sebelumnya pada 2022 dengan cara mencicil (KPR).
Jessica semula memungut tarif sewa Rp 1,8 juta per bulan. Ia kemudian menaikkan tarif sewa menjadi Rp 2,5 juta per bulan hingga kini menjadi Rp 3,7 juta per bulan.
Biaya sewa yang dibayarkan penghuni kos juga sudah termasuk internet, televisi, kamar mandi dalam, kulkas, dan furnitur. Ada pula ruang santai dan dapur bersama di sisi selatan kolam renang.
Fasilitas di dalam kamar antara lain dapur, tempat cuci piring, hingga balkon. Tak ketinggalan ruang khusus untuk menjemur pakaian. Adapun, Thapleuk Residence memiliki 10 kamar.
Jessica pun meraup cuan Rp 300 juta per tahun dari bisnis kos-kosan tersebut. Adapun, biaya operasional merawat kos-kosan itu mencapai Rp 7 juta per bulan.
Jessica optimistis Thapleuk Residence bisa menjadi pendapatan pasif baginya. Meski, penghasilan Rp 300 juta per tahun itu belum mengembalikan modalnya saat membeli properti tersebut.
“Untuk jangka panjang, cukup (menjanjikan) untuk passive income,” imbuhnya.