Bali mempunyai minuman arak. Arak Bali merupakan minuman dengan kadar alkohol yang bisa mencapai antara 30-60 persen. Umumnya, arak dibuat dari tuak kelapa yang disuling. Namun, ada juga jenis arak yang dihasilkan dari beras atau ketan yang sebelumnya melalui proses perendaman dan pemerasan.
Dirangkum dari buku Produk Fermentasi Beras dan Nira oleh FG Winarno dan Sergio A Ahnan, arak Bali dibuat dari air nira kelapa sebagai bahan utama. Proses pembuatannya dilakukan secara tradisional, mulai dari penyadapan nira menggunakan pisau besar dan jeriken.
Penyaringan nira hasil sadapan untuk menghilangkan kotoran. Nira lalu disimpan selama 5-6 jam hingga siap disuling. Selain nira, bahan dasar lain bisa berupa beras atau ketan yang difermentasi dan kemudian disuling.
Nira disimpan dalam gentong plastik untuk proses fermentasi selama tiga hari. Setelah itu, nira yang telah mengandung alkohol dimasukkan ke dalam alat penyulingan tradisional yang disebut kekep.
Pemanasan dilakukan di atas tungku api kayu selama 5-10 jam. Uap yang muncul dari rebusan tersebut dialirkan melalui pipa bambu menuju jeriken penampungan. Dari sinilah arak Bali dikumpulkan.
Untuk memastikan hasil penyulingan tidak bocor, rongga pada alat penyulingan ditutup rapat dengan campuran daun kopi atau keladi yang ditumbuk. Uap yang dihasilkan akan ditampung dalam kendi sebagai hasil akhir arak.
Proses ini membutuhkan ketelitian dan kesabaran tinggi. Kendi-kendi berfungsi untuk menangkap dan menampung uap hasil penyulingan nira yang telah difermentasi. Intensitas nyala api harus dijaga agar tidak terlalu besar atau terlalu kecil. Bahan bakarnya pun harus dari jenis kayu tertentu, seperti kayu jambu mete, juwet, dan intaran.
Untuk satu siklus penyulingan, dibutuhkan sekitar tiga ember nira atau sepuluh liter, yang hanya menghasilkan sekitar 1,5 liter arak kelas satu. Sementara itu, arak kelas dua diproses dalam waktu yang lebih singkat, sekitar dua hingga tiga jam dengan api yang lebih besar.
Nilai-nilai luhur seperti ketangguhan dan ketekunan terlihat dari proses pembuatan arak. Para pembuat arak setiap hari harus memanjat puluhan pohon kelapa yang tingginya bisa mencapai 30 meter demi memperoleh nira dalam jumlah cukup.
Dibutuhkan kesabaran ekstra dalam proses fermentasi hingga penyulingan. Sebab, proses ini memakan waktu berjam-jam sambil menjaga api agar tetap stabil. Semua ini mencerminkan kekuatan dan dedikasi masyarakat Bali dalam mempertahankan warisan leluhur mereka.
Arak yang telah disuling dari nira kelapa maupun lontar biasanya disajikan dalam gelas kecil seperti sloki. Dalam kebiasaan tradisional, para petani kerap meminum arak di pagi hari sebelum berangkat ke sawah untuk menghangatkan tubuh.
Arak juga sering dikonsumsi pada malam hari agar tubuh terasa segar dan hangat. Saat menikmati arak, biasanya juga disajikan hidangan berbahan dasar daging sebagai pelengkap.
Arak Bali bukan ditujukan untuk minuman pemicu mabuk. Biasanya dijadikan campuran minum jus atau sirop.
Berikut beberapa pemanfaatan arak di Bali, dirangkum dari buku Ensiklopedi Upakara oleh I Nyoman jati dan Ni Komang Sutriyanti, serta jurnal berjudul Arak Bali dalam Kehidupan Masyarakat Karangasem Bali Perspektif Sosioreligius oleh I Wayan Sunampan Putra.
Selain menjadi mata pencaharian utama bagi sebagian warga, arak juga berperan sebagai pelengkap dalam berbagai upacara adat. Setiap kali masyarakat Bali melakukan persembahan atau Yadnya, arak dan brem selalu disertakan sebagai tetabuhan.
Pada kehidupan masyarakat Bali, arak memainkan peran penting, khususnya dalam upacara keagamaan seperti ritual segehan dan caru. Dalam ritual ini, arak bersama tuak dan brem digunakan sebagai persembahan kepada Bhuta Kala.
Bhuta Kala adalah makhluk simbolis dalam kepercayaan Hindu Bali, makhluk gaib yang diyakini mendiami alam semesta dan perlu dijaga keseimbangannya. Ia diyakini dapat menyebabkan gangguan bila tidak diberi sesaji.
Dalam prosesi ritual, arak biasanya dituang ke dalam wadah dari daun pisang berbentuk tangkup atau takir, kemudian dipercikkan menggunakan bunga sebagai simbol persembahan.
Tanpa kehadiran arak, ritual tersebut dianggap kurang sempurna. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran arak dalam praktik spiritual masyarakat Bali. Arak melambangkan aksara suci “Ah-kara”, sedangkan brem mewakili “Ang-kara”, yang keduanya mencerminkan prinsip dualitas dalam filosofi Bali.
Di luar fungsi religiusnya, arak Bali juga memiliki nilai sosial yang cukup besar. Dalam konteks sosial, arak sering dikonsumsi secara bersama-sama dalam kegiatan yang dikenal sebagai mearakan atau metuakan.
Tradisi ini biasanya dilakukan dalam kelompok atau sekaa, terutama saat berlangsungnya upacara adat. Aktivitas tersebut menjadi sarana mempererat hubungan antarwarga dan memperkuat solidaritas sosial.
Bahkan, di waktu santai, mearakan bisa menjadi wadah untuk membangun komunikasi yang lebih hangat di antara anggota masyarakat. Tradisi berkumpul untuk menikmati arak menjadikan momen ini sebagai wadah interaksi sosial yang penting di kalangan masyarakat Bali.
Di sisi lain, arak juga dimanfaatkan sebagai bahan pengobatan tradisional. Jika dikonsumsi dengan bijak, minuman ini dipercaya dapat memberikan efek menghangatkan tubuh, meredakan mual, dan digunakan dalam berbagai pengobatan tradisional.
Arak yang dicampur dengan rempah atau biji-bijian dapat dijadikan boreh (lulur). Hal ini dipercaya dapat meredakan gatal hingga pegal-pegal atau reumatik.
Pemanfaatan tersebut membuktikan bahwa arak tidak hanya memiliki nilai ekonomi, tetapi juga nilai kesehatan dan budaya yang melekat kuat dalam kehidupan masyarakat Bali.