Gereja Yesus Gembala Yang Baik (YGYB) berdiri kokoh di tengah-tengah permukiman warga di kawasan Ubung, Denpasar, Bali. Gereja yang merupakan bagian dari Paroki Santo Yoseph Denpasar itu memiliki arsitektur yang unik lantaran memadukan nilai-nilai iman Katolik dengan kearifan lokal Bali.
Ketua Bidang Pembinaan Iman (BPI) Dewan Pastoral Paroki St Yoseph Denpasar, Calistus Prammu Hartadi menjelaskan bangunan gereja tersebut turut mengaplikasikan filosofi Tri Hita Karana, yakni konsep hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, sesama, dan lingkungan. Bahkan, tata letak gereja juga mengadopsi ilmu arsitektur tradisional Bali, yakni Asta Kosala Kosali.
“Bangunan gereja ini mengikuti filosofi Tri Hita Karana dan tata letak Bali kuno seperti Asta Kosala-Kosali. Arah bangunannya pun disesuaikan menghadap timur,” ujar Calistus saat ditemui seusai Misa Minggu Palma kedua di Gereja Yesus Gembala Yang Baik, Minggu (13/4/2025).
Calistus menuturkan gereja tersebut diresmikan pada 12 September 2011. Pembangunannya dilakukan secara bertahap secara bergotong royong oleh umat Katolik setempat.
Ia menjelaskan arsitektur gereja ini tidak terlepas dari sentuhan pastor lokal pertama asal Bali, almarhum Servatius Subhaga SVD, yang memiliki minat dan perhatian dalam bidang desain. Ia memadukan nilai-nilai iman Katolik dengan budaya Bali secara harmonis.
Hal itu tercermin dari arah bangunan gereja yang mengikuti pakem bangunan tradisi Bali. Tampak pula ukiran khas Bali yang menghiasi setiap sudut gereja tersebut.
Kompleks seluas total 54 are ini terbagi menjadi dua bagian, yakni area gereja seluas 37 are dan area wisma serta aula pertemuan seluas 17 are yang berlokasi di seberangnya. Memasuki kompleks gereja, kita bisa melihat gapura dan menara lonceng yang terinspirasi dari bale kulkul Bali.
Dari gerbang hingga bagian belakang gereja, terdapat 40 anak tangga yang menyimbolkan 40 hari masa pra-Paskah, mulai dari Rabu Abu hingga Paskah. Setelah itu, terdapat Candi Kebangkitan di belakang gereja, tempat berdirinya patung Yesus yang bangkit dan dikelilingi malaikat.
“Candi ini melambangkan bahwa manusia akan kembali kepada keabadian, bersatu dengan Tuhan Yesus Kristus. Jika kita percaya, kita akan bersatu kembali dengan Sang Pemberi Hidup di surga,” imbuh Calistus.
Gereja YGYB mampu menampung hingga 1.800 umat dalam satu kali misa. Ruang ibadah dirancang dengan bentuk elips dan tempat duduk seperti tribun agar seluruh jemaat dapat fokus ke altar yang terletak di barat sebagai pusat peristiwa iman.
Gereja ini juga memiliki tujuh pintu serta banyak jendela yang mengelilingi bangunan dan tetap terbuka. Selain menciptakan sirkulasi udara yang baik, Calistus menyebut hal itu juga sebagai simbol keterbukaan terhadap alam semesta.
“Tujuh pintu melambangkan tujuh sakramen dalam ajaran Katolik. Kita juga punya banyak jendela dan kaca, harapannya kita tetap dekat dengan alam semesta dan sirkulasi udara bisa masuk,” imbuhnya.
Di atas altar, terdapat kubah atau interior dome yang dihiasi lukisan-lukisan penuh makna. “Itu dilukis dengan tangan secara langsung, bukan berupa stiker,” ujar Calistus sambil menunjuk langit-langit altar.
Di luar gereja, dinding-dindingnya dipenuhi ukiran dan relief yang menggambarkan kisah-kisah dalam Perjanjian Lama dan Baru. Mengelilingi bangunan gereja, terdapat 14 perhentian Jalan Salib dengan diorama peristiwa-peristiwa penting, seperti Air Kehidupan dan Yesus di Taman Getsemani.
Uniknya lagi, di pagar gereja, terdapat relief Yesus yang digambarkan dalam rupa seorang bhagawan, guru bijak yang sedang bersemedi. Penggambaran ini selaras dengan filosofi lokal Bali.
Selain aspek fisik, gereja ini juga memperhatikan harmoni ekologis. Ruang hijau tetap dipertahankan demi menjaga keseimbangan alam. Ada taman dan pepohonan yang berbuah dan tempat- tempat duduk untuk sekadar bersantai.
“Sesuai semangat Laudato Si, kami mempertahankan ruang hijau untuk mendukung ekologi dan harmoni dengan sekitar,” jelas Calistus.
Di seberang gereja terdapat Wisma Santo Yoseph yang dilengkapi aula serbaguna. Tempat ini digunakan untuk berbagai kegiatan pastoral, mulai dari pertemuan umat, pengurus dewan Paroki, hingga komunitas basis gereja (KBG).
Aula ini juga sering dimanfaatkan bersama warga banjar setempat. Termasuk untuk kegiatan pemungutan suara saat pemilihan umum serta menjadi tempat tinggal bagi romo yang bertugas.
Di kompleks wisma, turun ke bawah, kita bisa menemukan Gua Maria yang rimbun di tepi sungai. Suasana terasa menenangkan karena dikelilingi gemericik air dan tanaman yang meneduhkan.
“Tri Hita Karana mencakup hubungan antara alam, manusia, dan Tuhan. Dalam Katolik, relasi ini diwujudkan dalam corpus (salib), hubungan ke atas kepada Tuhan dan ke samping kepada sesama manusia dan makhluk hidup,” tutur Calistus.
Gereja YGYB bukan hanya pusat ibadah Paroki Santo Yoseph yang memiliki umat hampir 4.500 jiwa. Gereja ini juga menjadi rumah rohani bagi umat Katolik dari berbagai penjuru. Pada 2022, gereja ini terpilih sebagai salah satu dari tiga lokasi pelaksanaan Bali International Choir Festival.