KA (33), seorang perempuan tunarungu dan wicara berinisial KA (33) di Buleleng, Bali, diduga diperkosa. Akibatnya, korban saat ini hamil tujuh bulan. Polisi masih menyelidiki pelaku dugaan pemerkosaan terhadap perempuan difabel tersebut.
Kasat Reskrim Polres Buleleng, AKP Gusti Nyoman Jaya Widura, mengatakan polisi sudah jemput bola untuk menangani kasus tersebut.
“Nggih betul, penyelidikannya kita langsung jemput bola. Mengingat tindak pidana ini bukan delik aduan, maka kami berkewajiban untuk segera turun dan melakukan penyelidikan berdasarkan fakta yang ditemukan di lapangan,” jelasnya, Minggu (28/9/2025).
Namun, penyidik menghadapi kendala karena korban belum bisa diperiksa. Kondisi KA yang masih mengalami trauma dan syok membuat pemeriksaan belum dapat dilakukan.
“Walaupun ada sedikit kendala karena korban sampai saat ini belum bisa kami periksa, mengingat yang bersangkutan masih syok,” tambahnya.
Untuk memperlancar proses penyelidikan, kepolisian menggandeng Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Buleleng serta ahli bahasa disabilitas. Upaya ini dilakukan agar komunikasi dengan korban bisa berjalan lebih mudah.
“Kami juga minta bantuan UPTD PPA bersama ahli bahasa disabilitas. Untuk sementara, kami mencoba meminta bantuan mereka untuk melakukan pendekatan atau pemeriksaan. Namun kami tidak bisa memaksakan karena korban masih dalam kondisi trauma,” terangnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Buleleng, Putu Kariaman, menyampaikan bahwa KA diketahui tinggal seorang diri setelah kedua orang tuanya meninggal dunia. Sedangkan, saudara-saudaranya telah menikah dan tinggal di luar Buleleng.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
“Tim sudah melihat langsung kondisi yang bersangkutan, memang cukup memprihatinkan. Rumah yang ditempati tidak memiliki kamar mandi dan air bersih, ditambah kondisi rumah kurang bersih serta tidak tertata dengan baik. Sementara korban sendiri dalam keadaan hamil,” ujarnya.
Kariaman menambahkan KA kini sudah ditempatkan di rumah aman dengan pendampingan pekerja sosial, psikolog, hingga guru SLB yang pernah mendampinginya saat sekolah. Hal ini dilakukan agar korban mendapatkan perlindungan dan pemulihan psikologis.
“Dia tidak punya wali. Ada keluarga sepupu, tapi mereka sudah tidak mau mengurus. Karena itu pemerintah harus hadir,” tegasnya.






