Wahid Foundation bersama La Rimpu dan LP2DER, menggandeng UN Women, dengan dukungan Kedutaan Besar Belanda dan Korea International Cooperation Agency (KOICA), menjalankan program Kampo Mahawo atau kampung damai di Kabupaten dan Kota Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Program yang mulai digagas sejak 2024 ini bertujuan mendorong ketangguhan komunitas berbasis nilai lokal dan penguatan kepemimpinan perempuan. Selama periode 2024-2025, Kampo Mahawo menjangkau 12 desa dan kelurahan, yaitu Dadibou, Kalampa, Ncera, Penapali, Rato, Renda, Roi, Roka, dan Samili, serta Kelurahan Dara, Paruga, dan Penatoi.
Sebagai bagian dari rangkaian program, Festival Kampo Mahawo digelar di Halaman Kantor Bupati Bima pada Selasa (6/5/2025). Acara ini dihadiri Wakil Gubernur NTB Indah Dhamayanti Putri, Bupati Bima Ady Mahyudi, Wakil Bupati Bima Irfan, Wakil Ketua DPRD Murni Suciyati, perwakilan UN Women, dan perwakilan La Rimpu Atun Wardatun.
“Kegiatan ini menjadi ruang perjumpaan dan pembelajaran antar desa dan kelurahan dampingan,” ujar Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid.
Yenny menyebut festival ini menjadi momentum berbagi pengalaman atas praktik baik pelaksanaan Kampo Mahawo, termasuk penguatan sistem deteksi dan kewaspadaan dini berbasis masyarakat, serta pemanfaatan media alternatif oleh generasi muda.
“Serta pengelolaan potensi lokal secara berkelanjutan,” lanjutnya.
Festival juga dimeriahkan dengan penampilan seni budaya dari desa dan kelurahan dampingan, yang menampilkan kekayaan tradisi lokal dan pesan damai lewat seni. Tak hanya itu, digelar pula pameran UMKM yang memamerkan produk unggulan warga, serta pameran foto karya anak muda pelopor perdamaian, yang mendokumentasikan proses perubahan sosial di komunitas masing-masing.
Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.
Yenny Wahid memuji kearifan lokal masyarakat Bima yang dinilainya sebagai fondasi penting dalam menciptakan masyarakat damai dan berdaya.
“Bima adalah daerah istimewa dengan ajaran-ajaran lokal yang sangat dalam maknanya,” kata putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ini.
Menurutnya, ada tiga falsafah lokal Bima yang harus disebarluaskan hingga ke tingkat nasional dan dunia, yakni ngaha aina ngoho, maja labo dahu, dan nggahi rawi pahu.
Yenny menjelaskan, ngaha aina ngoho berarti ‘mencari makan tapi tidak merusak hutan’. Nilai ini dinilainya selaras dengan isu kerusakan lingkungan yang kian mengkhawatirkan di seluruh dunia.
“Bumi, manusia, dan alam akan tetap terpelihara dan terjaga dengan baik jika prinsip ini dihidupkan. Ini sungguh luar biasa,” tuturnya.
Falsafah kedua, maja labo dahu (malu dan takut melakukan kesalahan), menurutnya bisa menjadi solusi atas berbagai persoalan bangsa.
“Jika falsafah ini diterapkan, Indonesia tidak ada problem. Mulai dari kemiskinan, pengangguran hingga ekologi,” katanya.
Adapun falsafah ketiga, nggahi rawi pahu, bermakna berkata sesuai dengan perbuatan. Yenny menilai nilai ini penting, mengingat banyak orang tua dan pejabat yang tidak memberi teladan.
Ia mencontohkan seorang ibu yang melarang anaknya bermain handphone, namun dia sendiri sibuk dengan handphone. Begitu juga seorang ayah yang melarang merokok, padahal dirinya sendiri perokok. Bahkan, ada pejabat yang mengaku ingin memberantas korupsi, tapi justru melakukan kongkalikong di belakang layar.
Yenny menilai nilai ini diterapkan secara konsisten di Jepang. Ia menuturkan pengalamannya saat ketinggalan handphone di toilet umum, namun dua jam kemudian ia kembali dan handphone-nya masih ada.
“Ini adalah hal kecil, namun akan berdampak besar bila diterapkan. Jika nilai-nilai ini dijalankan, maka masyarakat akan menjadi lebih damai dan tangguh,” pungkasnya.