Tumbuh Rumah Kos karena Bertambah Perantau

Posted on

Pengamat tata ruang dan perkotaan dari Universitas Warmadewa, Putu Rumawan Salain, mengungkapkan tidak mudah mencari kos-kosan di kawasan Denpasar dan Badung. Hal itu seiring terus berkembangnya daerah tersebut.

Rumawan mencontohkan berkembangnya Denpasar membuat perantau berdatangan ke ibu kota Provinsi Bali itu. Walhasil, sejumlah fasilitas publik seperti sekolah, perguruan tinggi, hingga rumah sakit pun dibangun untuk mengakomodasi kebutuhan penduduk.

“Sehingga permintaan (kos) jadi tinggi,” tutur Rumawan kepada infoBali, Minggu (27/4/2025).

Sebelumnya, puluhan orang tertipu oleh calo kos-kosan di Denpasar. Para korban itu melaporkan dugaan penipuan yang mengakibatkan kerugian ratusan juta rupiah tersebut ke polisi.

Data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar menyebutkan pada 2019 jumlah penduduk nonpermanen di Denpasar 35.486 orang. Setahun kemudian jumlahnya bertambah 30.301 jiwa.

Pada 2021 jumlah warga nonpermanen naik 36.293 orang. Setahun kemudian bertambah 18.143 jiwa.

Menurut Rumawan, terus bertambahnya perantau di Pulau Dewata mengakibatkan kos-kosan menjadi bisnis yang menguntungkan. Sejumlah sawah di kawasan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita) pun beralih fungsi menjadi permukiman untuk mengakomodasi kebutuhan hunian.

Fasilitas kamar kos, Rumawan berujar, juga terus berkembang. Bahkan, ada yang memiliki fasilitas layaknya hotel seperti kolam renang.

Dampaknya, Rumawan melanjutkan, sejumlah wisatawan yang pelesiran di Bali lebih tertarik tinggal di kos-kosan dibandingkan hotel demi menekan pengeluaran. “Sekarang bayangkan kalau ada wisatawan dari Rusia atau Ukraina yang mungkin tiga bulan mereka tinggal (di Bali), mereka itu tidak mau menginap di hotel lagi karena lebih murah kalau dia sewa (kos),” tuturnya.

Rumawan memperkirakan prospek bisnis kos-kosan di Bali ke depannya cerah. Namun, persaingannya ketat.

Rumawan berpendapat laris dan tidaknya kos-kosan tetap mengacu pada jarak hunian sewa itu dengan fasilitas umum seperti kampus maupun tempat kerja. “Kalau jauh jaraknya dari tempat dia kerja, (kemungkinan) tak laku nanti karena mereka harus beli motor lagi,” imbuhnya.

Penjelasan Rumawan diperkuat oleh Wildan Akifin. Perantau asal Pekalongan, Jawa Tengah, ini kesulitan menemukan kos yang layak dan terjangkau.

Akifin awalnya mengandalkan informasi dari grup Facebook dan jaringan teman-temannya untuk mendapatkan kos-kosan. Tujuannya, agar ia mendapatkan hunian sewa tersebut.

“Info yang saya dapatkan dari grup medsos dan teman-teman di Bali selalu penuh (kos) karena biasanya main koneksi, antarteman. Jadi, kalau temannya mau keluar kos, dia info kepada temannya,” tutur pria berusia 28 tahun tersebut.

Informasi tersebut tidak gratis. Mereka biasanya meminta komisi antara Rp 100 ribu sampai Rp 300 ribu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *