Polda Bali membongkar sindikat internasional love scamming atau penipuan online bermodus asmara. Sebanyak 38 pelaku diringkus. Terungkap, mereka mendapat keuntungan sekitar Rp 3,2 juta sampai Rp 12 juta per bulan dalam bentuk uang kripto.
Para pelaku diciduk dari lima tempat kejadian perkara (TKP) berbeda di Denpasar. Mereka sudah beraksi sejak November 2023 atau sekitar 1,5 tahun. Pelaku menyasar warga negara (WN) Amerika Serikat (AS) untuk diambil data-data pribadi korban.
Diressiber Polda Bali Kombes Ranefli Dian Candra mengungkapkan modus para pelaku adalah berpura-pura menjadi perempuan asal AS. Mereka menggunakan profil dan foto sosok perempuan di dunia maya.
Korban yang tertarik lantas menyerahkan data-datanya seperti nama lengkap, alamat, dan identitas pribadi lainnya. Para pelaku dikendalikan dari Kamboja. Menurut Ranefli, pelaku berawal dari lima orang yang pernah bekerja di Kamboja dengan modus serupa.
“Jaringan mereka hendak membuka kantor di Indonesia. Lima orang ditugaskan untuk mengoperasikan kantor dan merekrut pekerja sebagai broadcaster,” ujar Ranefli, Rabu (12/6/2025).
Menurutnya, sindikat tersebut awalnya bekerja dari Tabanan, sebelum akhirnya berpindah-pindah ke wilayah Badung hingga Denpasar. Tak hanya sebagai broadcaster, ada juga yang menjadi leader (pimpinan) setelah membuka cabang baru. Dalam satu kantor setidaknya ada dua leader setelah sebelumnya menjadi broadcaster.
“Mungkin kerjanya bagus, diangkat jadi leader,” lanjut Ranefli.
Ranefli membeberkan motif para pelaku melakoni pekerjaan tersebut adalah faktor ekonomi. Bonusnya bisa mencapai Rp 12 juta sebulan. Ranefli menjelaskan seorang broadcaster yang berhasil mendapatkan data korban lalu diterima jaringan di Kamboja, maka mendapatkan bonus US$ 1 yang dibayar dalam bentuk kripto.
Semakin banyak mengirim data, bonus yang didapatkan pun semakin tinggi. Namun, sejauh ini penyidik belum mendapatkan detail jumlah korban keseluruhan.
“Masih pengembangan lebih lanjut,” tandasnya.
Terbongkarnya sindikat love scamming itu bermula pada Senin (9/6/2025) dini hari. Sebelumnya, Ditressiber Polda Bali mendapatkan informasi adanya aktivitas mencurigakan di salah satu rumah di Jalan Nusa Kambangan, Denpasar.
Rumah tersebut merupakan lokasi pertama yang digerebek. Di sana tim Ditressiber melakukan penggeledahan dan ditemukan ada sembilan orang lengkap dengan 10 unit komputer yang digunakan untuk aktivitas penipuan.
Terungkap, sembilan orang tersebut bekerja atas kendali dari seorang pria berinisial VV yang berada di Kamboja. Saat diinterogasi polisi, para pelaku mengaku mengincar data-data pribadi warga negara Amerika Serikat (AS)
“Pelaku mendapatkan data yang dicari dari korban, dilanjutkan komunikasi melalui link Telegram yang berada di Kamboja,” ungkap Kapolda Bali Irjen Daniel Adityajaya saat jumpa pers di lobi depan Mapolda Bali didampingi Kabid Humas Kombes Arisandy dan Kabid Propam Kombes Ketut Agus Kusmayadi, Rabu.
“Pengakuannya untuk melakukan pencarian data pribadi WNA AS via chatting personal dengan upah US$ 1 per data,” imbuh Daniel.
Setelah diperiksa, mereka digelandang ke Ditressiber Polda Bali untuk pemeriksaan lebih lanjut. Para pelaku kejahatan siber ini sudah beroperasi sejak November 2023.
Tak hanya sembilan pelaku, polisi kembali menelusuri kasus tersebut. Kemudian, ditemukan ada lokasi lainnya. Masing-masing di Jalan Nangka Utara, Jalan Gustiwa III, Jalan Irawan Gang 2 Ubung Kaja, dan Jalan Swamandala III. Semua lokasi itu berada di wilayah Denpasar.
Kali ini, jumlah pelaku yang diringkus jauh lebih banyak, yakni 29 orang. Polisi juga menyita 47 perangkat komputer dan 82 handphone.
“Total ada 31 laki-laki dan 7 perempuan yang diamankan beserta barang bukti,” jelasnya.
Daniel memerinci, di TKP pertama ada sembilan pelaku dengan barang bukti 19 handphone, dan 10 komputer yang diamankan. Dari TKP kedua, ada sembilan pelaku dengan 16 handphone, serta 10 komputer. Ketiga, ada enam pelaku disertai 15 handphone dan 9 komputer. Keempat, ada 22 handphone, 8 komputer dari delapan pelaku. Kelima, ada enam pelaku disertai masing-masing 10 handphone dan komputer.
Dalam kasus ini, polisi mengenakan Pasal 35 juncto Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juncto Pasal 55 KUHP.
Para tersangka terancam hukuman penjara paling lama 12 tahun dan atau denda paling banyak Rp 12 miliar. Daniel pun mengimbau kepada masyarakat untuk tetap waspada dengan beragam modus penipuan di dunia siber.
“Jika masyarakat menemukan aktivitas mencurigakan yang melanggar hukum segera laporkan kepada kami. Kami pastikan akan menindaklanjuti laporan tersebut,” pungkas Daniel.