Masyarakat di Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT), hingga kini masih melestarikan berbagai kebudayaan dan adat istiadat yang diwariskan secara turun temurun. Salah satu tradisi warga Rote Ndao itu adalah ritual Songgo Kamba.
Bani, O. D, & Ndun, R. M. (2021) dalam penelitan berjudul Tuturan Ritual Songgo Kamba Pada Masyarakat Kecamatan Lobalain Kabupaten Rote Ndao, menjelaskan ritual Songgo Kamba memiliki peran yang penting bagi kehidupan masyarakat Kecamatan Lobalain, Kabupaten Rote Ndao. Tradisi ini berkaitan dengan budaya agraris warga setempat.
Songgo Kamba menjadi salah satu ritual pemujaan kepada leluhur dengan tujuan agar diberikan lindungan, kekuatan, dan kesehatan bagi hewan yang digunakan untuk menggarap sawah. Warga setempat meyakini sawah-sawah di sana menjadi tempat arwah leluhur (nitu) dan berperan sebagai jembatan antara manusia dengan dewa-dewa.
Ritual Songgo Kamba dipimpin oleh mana songgo atau orang yang dianggap memiliki pengetahuan mengenai alam gaib dan bahasa atau tuturan yang digunakan oleh para roh-roh gaib. Ritual ini sakral ini hanya dilaksanakan pada hari tertentu.
Masyarakat Lobalain, Rote Ndao, memaknai Songgo Kamba sebagai cara bertahan hidup dengan bercocok tanam. Songgo Kamba berfungsi sebagai ritual pengungkapan perasaan dan ekspresi terhadap keagungan Tuhan sebagai pemegang kendali utama dalam kehidupan manusia.
Selain itu, juga sebagai langkah awal agar apa yang ada dalam ritual tersebut dapat ditekuni dan bekerja keras untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Upacara ini menjadi momen bagi warga Lobalain untuk menjaga hubungan harmonis dengan sesama, alam, dan hewan sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
Ritual Songgo Kamba dipimpin oleh seorang mana songgo dan dilakukan di rumah adat bagian uma lai (panggung kedua rumah adat). Peserta dalam ritual ini adalah para pengembala atau sering dikenal dengan sebutan manaho atau manalolo banda.
Songgo Kamba diawali dengan mengembala kerbau/sapi ke halaman rumah adat oleh manaho atau manalolo. Selanjutnya, akan dilakukan upacara khusus dengan cara para gembala duduk menyilang mengelilingi difalek teluk (tiang bercabang tiga).
Kemudian, prosesi dilanjutkan oleh mana songgo yang akan mengucapkan doa dan diikuti dengan penyembelihan ayam. Darah dari ayam tersebut dioleskan pada difalek teluk, kemudian dagingnya dibakar dan dipotong untuk dicampurkan dengan nasi yang sudah disediakan di dalam oko (nyiru).
Setelah itu, prosesi dilanjutkan dengan mana songgo yang menasehati para pengembala agar merawat kerbau/sapi dengan penuh kasih sayang. Setelah itu dilanjutkan dengan para pengembala memakan nasi dan daging ayam yang ada di oko dengan menggunakan tangan secara bersama-sama.