Sebanyak empat orang sindikat perdagangan orang ditangkap polisi. Mereka merekrut sebanyak 21 orang untuk dipekerjakan di kapal tanpa gaji dan aktivitas kerja yang tidak layak.
Mereka adalah Titin Sumartini alias Mami Ina, Iwan, Rustam, I Putu Setyawan, dan Jaja Sucharja. Setyawan adalah anggota Polairud Polda Bali.
“Ya,TPPO (tindak pidana perdagangan orang). Mereka direkrut melalui agen illegal,” kataKabid Humas Polda Bali, KombesAriasandy dalam keterangannya kepadainfoBali, Sabtu (25/10/2025).
Ariasandy mengatakan enam orang sindikat itu ditangkap satu per satu sejak 16 Oktober 2025. Dalam sindikat itu, Iwan, Refdi, Mami Ina, Melyanus, Rustam, Setyawan, dan Jaja punya peran sendiri.
Iwan bertindak sebagai Direktur PT Awindo Internasional. Kemudian, Refdi bertindak sebagai calo sekaligus agen yang berhadapan langsung dengan korban yang akan dipekerjakan sebagai anak buah kapal (ABK) di KM Awindo 2A milik perusahaan Iwan.
Lalu, ada Mami Ina, Jaja, Setyawan, dan Melyanus yang merekrut 21 calon ABK itu. Mereka bertugas menawari para korban pekerjaan di kapal pengelolaan ikan dengan gaji tinggi dari media sosial.
“Fakta yang kami peroleh, empat tersangka itu secara bersama-sama telah melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan terhadap para korban,” kata Ariasandy.
Kronologi Penipuan dan Eksploitasi
Ariasandy mengatakan kasus itu berawal 4 Agustus 2025. Mami Ina, Jaja, Setyawan, dan Melyanus berhasil merekrut 23 calon ABK dari media sosial. Puluhan calon itu berasal dari Jakarta, Surabaya, Brebes, dan Depok.
Mereka dijanjikan pekerjaan pengolahan ikan di Jakarta dan Pekalongan dengan gaji Rp 3,5 juta. Puluhan korban itu tertarik dengan tawaran tersebut dan berkumpul di mess Pekalongan, Jawa Tengah.
Para sindikat itu lalu mendata para calon ABK. Ada dua calon ABK yang berbekal KTP palsu. Mereka adalah Reza dan Bayu. Dua anak di bawah umur itu lalu dipindahkan ke kapal milik PT Bandar Nelayan.
Pemindahan Reza dan Bayu menyisakan 21 calon ABK lainnya. Namun, bukannya dipekerjakan di unit pengolahan ikan di Jakarta dan di Pekalongan, puluhan calon ABK itu malah dilayarkan ke Pelabuhan Benoa, Bali, pada 8 Agustus 2025.
“Pada tanggal 8 Agustus 2025 rombongan calon ABK tiba di Bali. Sebagian besar langsung ditempatkan di kapal KM Awindo 2A milik PT Awindo Internasional, kapal
penangkap cumi yang berbeda dengan janji awal,” ungkapnya.
Selama disekap di KMAwindo 2A di PelabuhanBenoa, puluhan calonABK dipaksa melakukan pekerjaan yang tidak sesuai perjanjian. Yakni, mengecat dan membersihkan palka kapal.
Selama itu, mereka hanya diberi makan mie goreng dan nasi serta air mentah. Padahal, puluhan korban itu tidak melengkapi diri dengan pelatihan dasar keselamatan kerja atau BST (basic safety training).
Selain itu, sejak dari Pekalongan, mereka diberi uang Rp 5 juta yang sudah dipotong setengahnya oleh para sindikat itu. Alasannya, untuk uang pelepasan.
“Ponsel dan KTP para korban juga disita. Mereka juga dipaksa menandatangani dokumen kerja tanpa diberi kesempatan untuk membaca dan memelajari. Kalau mereka menolak, mereka dipaksa membayar Rp 2,5 juta,” katanya.
Ariasandy mengatakan kapal itu sempat diselidiki pada 14 Agustus 2025. Namun, Setyawan justru menghalangi upaya penyelidikan.
Hingga keesokan harinya, kasus itu terkuak. Puluhan korban akhirnya dapat dievakuasi dari KM Awindo 2A setelah beberapa hari tertipu agen ilegal.
“Korban terpaksa melaut karena sudah diberikan buku pelaut dan diberi kasbon. Padahal, cuma digaji Rp 1 juta saja,” katanya.
Dua Pelaku Masih Buron
Ariasandy mengatakan ada dua orang sindikat lagi yang sudah ditetapkan tersangka, yakni Refdiyanto dan Melyanus Alexander. Refdi dan Melyanus juga bertindak merekrut calon ABK melalui media sosial dengan iming-iming gaji tinggi. Namun, dua orang itu masih buron.
“Mereka dijerat Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 10 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Ancamannya, enam tahun penjara,” katanya.
Sebelumnya, sebanyak 21 ABK KM Awindo 2A di Pelabuhan Benoa, Denpasar, Bali, diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Mereka dijanjikan gaji Rp 3 juta-Rp 3,5 juta per bulan, tapi kenyataannya hanya menerima upah minim dari perusahaan penangkap ikan.
Pemberi Bantuan Hukum (PBH) Perburuhan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, I Gede Andi Winaba menjelaskan, 24 ABK tersebut direkrut melalui media sosial Facebook. Para calon ABK yang direkrut berusia antara 18 hingga 47 tahun.
Mereka awalnya dijanjikan gaji Rp 3 juta-Rp 3,5 juta per bulan serta fasilitas tunjangan, termasuk BPJS. Namun nyatanya, ekspektasi yang mereka harapkan tidak sesuai kenyataannya setelah tiba di Pelabuhan Benoa, Denpasar.
“Gaji yang dibayarkan itu Rp 35 ribu per hari, jadi kalau selama 31 hari itu mereka hanya mendapatkan Rp 1.050.000 saja dalam sebulan,” terang Gede di kantor LBH Bali, Senin (8/9/2025) sore.






