Masyarakat Suku Bima (Mbojo) di Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki sejumlah tradisi yang terus dilestarikan hingga kini. Salah satunya adalah tradisi Kareku Kande yang erat dengan budaya agraris.
Kareku Kandei merupakan tradisi pengolahan tanaman padi dari masih bertangkai hingga menjadi beras yang siap dimasak. Seiring berkembangnya waktu, tradisi ini juga menjadi alat penyebaran informasi dan hiburan dalam acara pernikahan atau sunatan.
Simak serba-serbi mengenai Kareku Kandei seperti dirangkum infoBali dari buku berjudul Inventarisasi Perlindungan Karya Budaya: Kareku Kandei Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat yang ditulis oleh Nuryahman, Rupa, Yufiza, Jayanti, dan Yudha (2016).
Kareku Kandei adalah tradisi menumbuk padi untuk menghasilkan butiran beras oleh masyarakat Suku Bima (Mbojo). Kareku Kandei terdiri dari dua kata, yaitu Kareku yang berarti menumbuk secara terus menerus hingga menghasilkan bunyi. Sedangkan Kandei dalam bahasa Mbojo berarti lesung.
Kareku Kandei dapat dimaknai sebagai tradisi memukul lesung hingga menghasilkan suara yang berfungsi sebagai penanda bahwa ada warga Mbojo yang sedang melaksanakan hajatan. Kareku Kandei juga digunakan sebagai hiburan, hanya saja lesung yang ditumbuk kosong atau tidak berisi padi.
Saat masyarakat mendengar suara Kareku Kandei, kaum perempuan akan berbondong-bondong mendatangi sumber suara dengan membawa berbagai bahan makanan dan rempah-rempah hasil pertanian. Suara ini semacam undangan untuk menghadiri sebuah acara yang sedang digelar.
Berikut adalah beberapa persiapan dan perlengkapan saat Kareku Kandei digelar.
Lesung ini berfungsi untuk menumbuk padi hingga terpisah dari tangkainya. Kandai terbuat dari kayu nangka dengan bentuk seperti sampan. Sarana menumbuk padi ini umumnya memiliki panjang 2-3 meter dan lebar lubangnya 30 sentimeter (cm).
Jenis kayu nangka digunakan oleh masyarakat Mbojo untuk membuat Kandei karena menghasilkan suara yang lebih menggema saat dipukul. Pembuatan Kandei juga tak bisa sembarangan karena pemahatannya memperhatikan hari baik agar menghasilkan suara yang bagus.
Jika Kandei memiliki bentuk memanjang seperti sampan, maka Nocu adalah lesung dengan tinggi 1 meter dan memiliki lubang sedalam 50 cm. Nocu adalah alat untuk menumbuk padi hingga menjadi butiran beras berwarna putih.
Ada dua jenis alu, yaitu alu Kandei yang merupakan alat penumbuk padi yang bertujuan memisahkannya dari tangkai dan alu Nocu yang merupakan alat penumbuk padi hingga menjadi beras.
Alu memiliki panjang sekitar 1-2 meter agar menghasilkan suara nyaring dan bergema ketika dibenturkan dengan lesung.
Doku adalah alat yang digunakan untuk membersihkan beras dari kulit padi yang telah hancur ditumbuk.
Ini merupakan bahan yang wajib dan harus ada saat pergelaran Kareku Kandei. Karena jika tidak ada padi, tradisi ini tidak bisa dijalankan.
Masyarakat yang menghadiri tradisi ini biasanya menggunakan Rimpu atau pakaian tradisional masyarakat Mbojo khususnya wanita. Rimpu terdiri dua jenis, yaitu Rimpu Mpida untuk wanita yang belum menikah dan Rimpu Colo untuk wanita yang sudah menikah.
Wanita-wanita ini juga akan merias wajah mereka dengan berbagai jenis kosmetik dan menggunakan aksesoris seperti tas.
Setelah semua alat dipersiapkan di halaman rumah, tradisi Kareku Kandei diawali dengan membunyikan Kandei. Hal itu untuk menginformasikan kepada masyarakat bahwa acara hajatan akan segera dimulai.
Prosesi dimulai dengan persiapan para pemain. Mereka akan membentuk dua barisan yang saling berhadapan. Masing-masing dari pemain memegang alu. Sementara, seorang penyanyi berdiri di samping kandei (lesung) sembari memegang Nyiru yang berisi padi.
Selanjutnya, mereka akan berjalan menuju lesung dengan alu di tangan dan berhenti tepat di depan lesung dengan posisi yang sama. Salah satu dari pemain kemudian mengambil padi yang masih di ikat untuk ditaruh di dalam Kandei.
Kemudian, pemain lainnya memukul lesung secara bertubi-tubi dengan alu. Kegiatan inilah yang kemudian dinamai Kareku Kandei. Pukulan ini akan menghasilkan suara atau ketukan yang memiliki ritme dan irama.
Pada saat bersamaan, penyanyi yang memegang Nyiru akan melantunkan lagu rakyat Parado yang berisi pantun dan syair. Tempo menyanyikan lagu ini akan disesuaikan dengan tempo ketukan lesung. Jika tempo ketukan lesung cepat, maka lagu yang dinyanyikan juga akan memiliki tempo cepat.
Ketika proses pemisahan tangkai selesai, seorang perempuan akan mengeluarkan padi yang sudah terpisah dari tangkai menggunakan nyiru. Prose nyiru ini dilakukan dengan gerakan.
Tangan yang lincah dan disertai goyangan badan yang halus. Setelah itu, proses dilanjutkan ke tahap penumbukan di Nocu. Tahap ini dilakukan oleh tiga perempuan untuk menumbuk padi hingga menjadi butiran beras.
Tahap akhir dari tradisi Kareku Kandei adalah Mbedi yaitu menampi kembali hasil tumbukan hingga diperoleh beras yang bersih dan siap digunakan. Seluruh rangkaian ini dilakukan secara bersama-sama dengan jumlah pemain Kareku Kandei berkisar antara empat hingga enam orang sebagai penumbuk dan satu orang penyanyi.
Keberadaan Kareku Kandei dalam pernikahan sangatlah penting bagi masyarakat Mbojo. Ini sebagai alat komunikasi yang digunakan untuk menyebarkan sebuah informasi kepada warga bahwa ada hajatan yang akan segera dilakukan.
Irama dan lagu yang dilantunkan saat Kareku Kandei juga menandakan bahwa keluarga itu telah siap menerima kehadiran masyarakat yang akan membantu.






