Sebanyak 32 penjor menjulang tinggi berdiri di depan Pura Petilan Kesiman, Denpasar, Bali. Puluhan penjor berukuran jumbo tersebut menarik perhatian warga dan pengendara yang melintas.
Penjor-penjor tersebut ditancapkan untuk menyambut ritus Ngerebong pada Minggu (11/5/2025). Upacara Pengerebongan digelar saban enam bulan, tepatnya sepekan setelah Hari Raya Kuningan atau pada Redite Pon Wuku Medangsia menurut perhitungan kalender Bali.
Wakil Bendesa Adat Kesiman I Gede Anom Ranuara menjelaskan penjor-penjor tersebut dibuat oleh para yowana dari 32 banjar di Kesiman. Kali ini, prajuru desa adat mendorong anak-anak muda setempat untuk memadukan gaya penjor yadnya dengan penjor hias.
“Artinya, penjor tetap adalah sarana persembahan dan di sisi lain sebagai ruang berkreativitas para yowana,” kata Anom saat ditemui infoBali di Pura Petilan Kesiman, Denpasar, Bali, Minggu (11/5/2025).
Anom menuturkan penjor menjadi salah sarana pokok dalam ritual Hindu di Bali. Penjor yang terbuat dari bambu melengkung berisikan beragam unsur hasil bumi, seperti biji-bijin, bunga, hingga buah.
Menurut Anom, Ida Pedanda Ketut Sidemen pernah menjelaskan penjor sebagai bentuk persembahan berupa pangan, sandang, dan papan. “Ini sebagai bentuk syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi yang telah memberkahi kesejahteraan,” tuturnya.
Anom menjelaskan penjor-penjor yang dipasang di sekitar Pura Petilan Kesiman memiliki tinggi 12 meter di atas tanah. Puluhan penjor tersebut juga dilombakan dan pengumuman pemenangnya akan dilakukan pada Minggu malam.
Ada beberapa poin penilaian dalam lomba penjor tersebut. Termasuk anatomi, kreativitas, keserasian, estetika, hingga kelengkapan penjor. Masing-masing sekaa teruna yang berpartisipasi dalam kegiatan itu mendapat bantuan Rp 5 juta dari desa adat setempat.
I Nyoman Sukrayasa, konseptor penjor dari Sekaa Teruna (ST) Binnayaka Dharma, Banjar Ujung Kesiman, menjelaskan dirinya tak begitu ambisius untuk mengejar juara dalam lomba penjor tersebut. Menurutnya, yang terpenting bisa berpartisipasi dalam upacara Ngerebong.
“Kami di sini prinsipnya ngayah. Kalau misalnya terpilih sebagai juara, bagi kami itu bonus,” ujar Sukrayasa.
Sukrayasa mengatakan proses penggarapan penjor tersebut sudah dimulai sejak dua pekan sebelumnya. Kali ini, penjor garapan ST Binnayaka Dharma juga menggunakan mesin untuk menggerakkan tiga simbol aksara suci (Ang, Ung, Mang) yang terpasang pada penjor.
“Biaya pembuatan kurang lebih Rp 8-10 juta dan sudah termasuk dengan bantuan yang diberikan desa adat,” ungkap Sukrayasa.