Rumah Perdamaian di Zona Merah

Posted on

Bangunan tradisional berbentuk kerucut itu menjadi saksi bisu kerukunan umat agama samawi (Islam, Katolik, dan Kristen) di Desa Mbawa, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Uma Lame, nama bangunan itu, terbuat dari material kayu dan beratapkan alang-alang.

“Bagi warga Mbawa, Uma Leme adalah rumah perdamaian, tempat berkumpul bersama untuk menyampaikan pesan dan nilai-nilai perdamaian,” tutur Marta Hajnah atau yang akrab disapa Wa’i Jana, salah seorang warga Desa Mbawa, ditemui di kediamannya, Februari lalu.

Desa Mbawa adalah sebuah paradoks di tengah kultur warga Bima yang masih lekat dengan konflik horizontal dan vertikal. Perang antarkampung hingga aksi blokade jalan acap terjadi di kabupaten itu.

Kerasnya kehidupan dan konflik komunal itu membuat Bima dicap sebagai zona merah penyebaran paham radikalisme. Pada 2016, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengatensi khusus Kabupaten Bima lantaran sejumlah pelaku teror yang ditangkap di Poso sebagian berasal dari daerah itu.

Konflik horizontal juga kerap terjadi di Bima. Misalkan saat warga Desa Roka dan Runggu yang terlibat bentrokan saat tahun baru 2025. Warga dari dua desa bertetangga di Kecamatan Belo, Bima, itu bahkan saling serang menggunakan senjata api hingga panah.

Keberadaan Uma Leme di Desa Mbawa menjadi semacam pembeda. Dari bangunan tradisional itulah warga Mbawa menyiarkan suara perdamaian. Mereka hidup rukun meski menganut agama berbeda.

Uma Leme menjadi pusat ritual sekaligus tempat digelarnya tradisi Raju yang melibatkan umat agama samawi di desa kecil itu. Marta menjelaskan Raju adalah doa untuk memohon keberkahan kepada Sang Pencipta. Saat doa didaraskan, umat dari tiga agama berbeda itu berkumpul di Uma Leme.

“Raju di Uma Leme adalah wadah untuk berkumpul dan membahas bersama persoalan desa dan warga ke depan. Seperti rencana tanam musim hujan,” ujar Marta. Marta merupakan istri dari Yosep Ome (58), generasi ketujuh dari Ncuhi atau Kepala Suku Adat Mbawa.

Marta menuturkan tradisi Raju di Uma Leme digelar setahun sekali setiap Oktober. Menurut perempuan berusia 56 tahun itu, doa yang dirapalkan saat ritual Raju berisikan mantra-mantra berbahasa Bima. Ritual dipimpin oleh tetua yang telah ditunjuk untuk menghafal mantra.

“Selama doa Raju berlangsung, warga pantang untuk melakukan aktivitas seperti berladang, ataupun menanam meski sudah musimnya. Doa Raju juga menentukan musim tanam tiba,” imbuh Marta.

Pada masa lampau, Uma Leme adalah istana sekaligus tempat tinggal Kepala Suku atau Kepala Adat Mbawa, Ncuhi Mbawa. Kini, bangunan tradisional peninggalan leluhur Mbawa itu dijaga dan dirawat oleh keturunan Marta.

Ada beberapa aktivitas yang dilakukan warga Mbawa selama ritual Raju digelar. Laki-laki yang beragama Katolik dan Protestan, biasanya berburu babi. Sementara, laki-laki beragama Islam berburu kijang atau menjangan di hutan.

“Banyak dan kurangnya hasil buruan itu juga akan menentukan keselamatan dan keberkahan yang didapatkan warga selama satu tahun ke depan,” tutur Martha.

Mbawa yang berada di bukit Gunung Leme Donggo selama ini dikenal sebagai desa yang paling aman, kondusif, dan jauh dari konflik di Bima. Berdasarkan data terakhir, jumlah penduduk Desa Mbawa sebanyak 4.771 jiwa yang terdiri dari 1.201 kepala keluarga (KK). Mereka tersebar di 10 dusun.

Islam menjadi agama terbesar di Mbawa dengan jumlah pemeluk 3.733 jiwa. Disusul Katolik yang dianut oleh 942 warga dan Kristen sebanyak 96 warga. Meski berbeda agama, mereka hidup rukun dan saling menjaga.

“Solidaritas, kebersamaan, dan budaya gotong royong di sini cukup kuat. Hal ini sudah berlangsung lama dan diwariskan dari generasi ke generasi,” kata Marta.

Jauh sebelum Islam, Katolik, dan Kristen masuk ke kampung itu, warga setempat menganut kepercayaan Makamba Makimbi yang dipimpin oleh Ncuhi Mbawa. Makamba Makimbi adalah kepercayaan asli Suku Mbojo di Bima yang dipengaruhi oleh animisme dan dinamisme.

Setelah agama samawi masuk dan memeluk keyakinan berbeda, hubungan antarwarga Mbawa tetap harmonis. Mereka masih menjaga silaturahmi dan saling berbaur tanpa memandang status sosial maupun keyakinan.

Bahkan, perpindahan keyakinan tidak menjadi hal tabu bagi warga Mbawa. Seorang anak yang ingin keluar dari agama satu dan memilih menganut agama lain karena faktor pernikahan juga tidak dipersoalkan.

“Setiap ada persoalan dan masalah tidak berkutat kepada pemuka agama dan pemerintah. Karena di sini ada tetuanya sendiri yang menyelesaikan,” ungkap Marta.

Kepala Suku Mbawa (Ama Ncuhi), Yosep Ome, mengatakan warga Mbawa awalnya berasal dari generasi atau satu keturunan sama, yang disebut Rafu. Mereka memiliki hukum adat yang mengatur tatanan sosial masyarakat Mbawa yang berbeda agama.

“Kadang anak yang Islam. Bapak Katolik. Begitupun sebaliknya, bapaknya Islam tapi anaknya Kristen,” ujar Yoseph Ome.

“Untuk mempersatukan warga, nama-nama juga dipadukan antara nama baptis dan nama lokal Bima, seperti Thomas Hamu, Lukas Abakar, dan Imanuel Ibrahim,” imbuhnya.

Sejarawan Bima, Fahru Rizki, mengatakan Kristen dan Katolik menyebar dan dianut sebagian komunitas Mbawa sekitar 1821 oleh misionaris. Sementara, agama Islam baru masuk ke kampung itu sekitar 1934.

Berdasarkan hasil risetnya tentang komunitas Protestan dan Katolik Mbawa, Fahru bercerita pernah ada konflik antara komunitas O’o dan Kala yang beragama Islam pada 1970. Penyebabnya sepele, yakni gara-gara seorang Muslim kehilangan sandal saat bertamu di rumah warga Mbawa.

“Sandal yang hilang ini dicurigai diambil oleh warga Mbawa,” ujar Fahru.

Peristiwa sepele itu menyulut perdebatan sengit hingga memicu konflik berdarah yang membuat korban berjatuhan. Syahdan, warga Islam dari O’o dan Kala bersekutu menyerang komunitas Mbawa.

Karena terancam, kaum laki-laki Mbawa terpaksa mengungsi ke gunung dan hutan selama dua hari. Mereka meninggalkan para perempuan dan anak-anak di rumah. Di sinilah kaum perempuan Mbawa memiliki peran besar.

Menurut Fahru, selain menjaga rumah dan kampung, para perempuan Mbawa menjadi aktor perdamaian di kampung itu. Mereka berperan mereduksi konflik dan kerusuhan agar tidak meluas.

“Misalnya, berperan mencarikan solusi perdamaian dengan cara menemui langsung tokoh-tokoh penting kedua kubu yang berkonflik untuk diajak berdialog hingga mendorong penyelesaian konflik,” urai Fahru.

Satu dari perempuan Mbawa, Marta Hajnah, berkeinginan agar semangat perdamaian itu terus diwariskan oleh generasi muda di desa itu. Bersama ibu-ibu lainnya, dia sempat membentuk komunitas. Namun, perkumpulan itu akhirnya bubar di tengah jalan karena minimnya keterlibatan kaum muda.

Hidup Harmonis

Perempuan Mbawa Menjaga Perdamaian


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *