Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan bahwa Indonesia saat ini kekurangan setidaknya 70.000 dokter spesialis. Kekurangan ini membuat distribusi tenaga medis tidak merata karena sebagian besar dokter spesialis terkonsentrasi di Pulau Jawa.
“Masyarakat di daerah-daerah tersebut kerap mengalami kesulitan mendapatkan layanan kesehatan tingkat lanjut karena minimnya dokter spesialis,” ujar Budi saat memberikan sambutan dalam kegiatan operasi perdana perluasan pelayanan stroke dengan tindakan Clipping, Colling dan Bypass Pembuluh Darah Otak, di Rumah Sakit Ben Mboi Kupang, Sabtu (15/11/2025).
Menurut Budi, dampak kekurangan tenaga ahli sangat terasa di wilayah seperti NTT, NTB, Kalimantan, Sulawesi, hingga kawasan Indonesia timur. “Kalau ada masalah kesehatan, nasibnya susah sekali,” imbuh Budi.
Untuk mengatasi masalah ini, Presiden menginstruksikan Kementerian Kesehatan membuka 500 sentra pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit (hospital-based education) di seluruh Indonesia. Setiap sentra akan dilengkapi sarana, peralatan, dan fasilitas pembelajaran yang memadai.
“Arahan Presiden jelas, kita tidak boleh kekurangan dokter spesialis dan harus cepat menambah jumlahnya,” terang Budi secara virtual.
Sentra pendidikan baru, kata Budi, akan dibuka di tingkat kabupaten, kota, hingga provinsi. Sehingga calon dokter spesialis tidak lagi harus berebut kesempatan dengan mahasiswa dari Jawa untuk masuk ke universitas besar seperti UI atau Unair.
“Peluangnya kecil sekali untuk masuk. Padahal yang kita butuhkan adalah memperbanyak dokter-dokter dari NTT untuk NTT, dari daerah untuk daerah,” beber dia.
Mulai tahun depan, Kemenkes akan secara agresif membuka rumah-rumah sakit daerah sebagai sentra pendidikan dokter spesialis. Salah satunya adalah Rumah Sakit Ben Mboi Kupang, yang akan dijadikan pusat pendidikan minimal untuk tujuh spesialis dasar, ditambah spesialis saraf dan jantung.
“Saya akan segera minta Ben Mboi tahun depan menjadi sentra pendidikan minimal tujuh spesialis dasar, plus saraf dan jantung. Dan sebagian besar akan diisi putra-putri NTT, mungkin 90-95 persen dokter yang sekarang ada di RSUD di NTT,” jelasnya.
Budi menegaskan langkah ini penting agar dokter-dokter muda dari daerah dapat lebih cepat menyelesaikan pendidikan spesialis dan kembali melayani masyarakat di wilayahnya masing-masing.
Budi juga mengakui bahwa transformasi besar ini menghadapi penolakan dari sebagian kalangan akademisi. Kebijakan pendidikan spesialis di rumah sakit digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), termasuk demonstrasi sejumlah guru besar fakultas kedokteran.
“Masih banyak pihak yang belum paham. Kami digugat di MK oleh Universitas Jenderal Soedirman, termasuk demo dari beberapa guru besar fakultas kedokteran yang merasa aneh kok pendidikan dibuka di rumah sakit, bukan di fakultas kedokteran,” terangnya.
Namun Budi menegaskan, bahwa model pendidikan spesialis berbasis rumah sakit justru merupakan standar internasional. Walaupun adanya perubahan dan dinilai mengganggu oknum tertentu, namun jika tidak dilakukan maka daerah akan kesulitan untuk mendapatkan dokter spesialis.
“Di luar negeri, pendidikan dokter spesialis itu memang dilakukan di rumah sakit. Memang perubahan ini mengganggu beberapa orang, tapi jika tidak kita lakukan, tidak mungkin rumah sakit di daerah akan mendapatkan dokter spesialis yang cukup,” tegasnya.
Menurutnya, transformasi ini penting agar putra-putri daerah, termasuk dari NTT, dapat kesempatan yang sama untuk menjadi dokter spesialis seperti rekan-rekan mereka di Pulau Jawa.
“Tidak mungkin putra-putri daerah, misalnya dari NTT, bisa mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjadi dokter spesialis dibandingkan teman-teman kita dari Pulau Jawa jika sistem lama tetap dipertahankan,” katanya.
Lanjut Budi, pemerataan dokter spesialis adalah fondasi utama dalam memperbaiki layanan kesehatan nasional dan memastikan seluruh masyarakat Indonesia mendapatkan akses kesehatan yang setara. “Kalau kita tidak buat begini maka di putra-putri daerah akan sulit untuk mendapatkan dokter spesialis,” tandasnya.
Untuk diketahui, RSUP Ben Mboi Kupang telah melakukan operasi syaraf perdana di NTT. Operasi perdana perluasan pelayanan stroke dengan tindakan Clipping, Colling dan Bypass Pembuluh Darah Otak ini merupakan kerja sama antara RSUP Ben Mboi Kupang dengan RS PON Jakarta dan RSUP Prof. dr I.G.N.G Ngoerah, Bali. Operasi syaraf ini dilakukan kepada tiga orang pasien
Sebelumnya, telah dilakukan penandatangan perjanjian kerja sama pengampuan layanan stroke antara RS Ben Mboi Kupang dengan RS Pon Mahar Mardjono Jakarta.
